Laman

Selasa, 28 September 2010

TREND PERAWATAN KOMPLEMENTER DI INDONESIA

Trend Penggunaan Pengobatan Tradisional di Indonesia
Salah satu bentuk tata cara penggunaan pengobatan tradisional adalah bahwa obat tradisional sering dipilih oleh pasien pada saat awal mengeluh sakit, baik dengan menggunakan obat tradsional maupun dengan menggunakan cara-cara pengobatan tradisional (Supardi,2001). Persentase terbesar penduduk Indonesia yang melakukan pengobatan tradisional (57,7%) cenderung menurun dibandingkan dengan hasil Susenas tahun-tahun sebelumnya . Hal ini mungkin berhubungan dengan adanya krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, kemudian pemerintah melakukan intervensi melalui program JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan) antara lain pemberian kartu sehat kepada kelompok miskin sehingga terjadi peningkatan pengobatan medis melalui Puskesmas dan rumah sakit.
Penduduk Indonesia yang menggunakan obat (82,7%) cenderung menurun, tetapi penggunaan obat tradisional (31,7%) dan cara tradisional (9,8%) cenderung meningkat dibandingkan dengan hasil Susenas tahun-tahun sebelumnya. Penggunaan obat menurun mungkin berkaitan dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menggunakan pengobatan alternatif, seperti obat tradisional dan cara tradisional. Peningkatan penggunaan cara tradisional, seperti pijat, kerokan, akupresur, dan senam olah pernapasan mungkin disebabkan meningkatnya pelatihan ketrampilan teknik pengobatan tersebut sebagai pengobatan alternatif untuk kemandirian hidup sehat .
Persentase terbesar (51%) penduduk Indonesia yang menggunakan obat dalam pengobatan sendiri adalah kelompok usia sekolah dan usia kerja 15-55 tahun . Hal ini mungkin menunjukkan bahwa penduduk pada kelompok usia sekolah dan usia kerja lebih menyukai pengobatan sendiri untuk menanggulangi keluhan sakit karena dapat menghemat waktu dan biaya.
B. Standard dan Indikator
Kebijakan penggunaan TM/CAM/CAT sebagai pilihan pengobatan sudah menjadi kebijakan dunia, yang tertuang dalam srategi “ WHO Traditional Medicine Strategy 2002-2005”. Dasar dari kebijakan ini adalah penghargaan terhadap nilai-nilai budaya, adat, keyakinan dan sumber daya yang berkembang di seluruh wilayah dunia yang telah menjadi pedoman turun temurun dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal ini juga diakibatkan oleh banyaknya obat, cara, maupun system kesehatan tradisional yang dalam prakteknya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait upaya peningkatan penggunaan TM/CAM antara lain 1) Perlunya kebijakan untuk mengadopsi TM/CAM sebagai bagian dari system kesehatan dengan mengeluarkan aturan-aturan yang mendukung penggunaan TM/CAM dalam system pelayanan kesehatan 2) Perlunya dilakukan upaya peningkatan kualitas, efektivitas dan efisasi dari TM/CAM dengan melakukan penelitian dan menetapkan standar kualitas produk-produk TM/CAM 3) Meningkatkan akses penggunaan TM/CAM bagi masyarakat dengan mendirikan berbagai sarana kesehatan yang menyelenggarakan TM/CAM serta 4) Menggunakan TM/CAM secara rasional dengan cara meningkatkan kemampuan pengobat tradisional, melakukan pelatihan terhadap tenaga kesehatan dan melakukan eduksi dan pemberian informasi tentang TM/CAM ke masyarakat.
Kebijakan WHO ini selanjutnya di ratifikasi oleh oleh Indonesia dalam bentuk penerbitan aturan perundang-undangan yang mengadopsi kebijakan WHO tentang TM/CAM. UU no 23 1992 secara tegas memberikan batasan dan garis terkait pentingnya penggunaan TM/CAM dalam pelayanan kesehatan. Namnu sangat disayangkan jika dalam Undang-undang ini definisi pengobatan tradisional dibuat sebagai tatacara pengobatan diluar ilmu kedokteran atau keperawatan, padahal mestinya dibuat suatu pengertian yang bisa menjadikan TM/CAM sebagai bagian yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan modern. Dalam Renstra Depertemen Kesehatan 2005-2009 juga mencantumkan strategi pengunaan TM/CAM yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun komunitas, Namun dalam aturan yang lebih khusus yakni Permenkes 381/Menkes SK/11/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional tidak diatur secara khusus tentang pengobatan tradisional, tetapi hanya memuat obat tradisional. Padahal jika berbicara tentang TM/CAM maka kebijakan tersebut seharusnya memuat tentang obat, system dan cara-cara pengobatan tradisional.
Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah tidak diakomodasinya TM/CAM dalam UU no 29/2004 tentang Praktek Kedokteran kondisi ini memberikan bukti bahwa tenaga medis dalam melakukan praktek hanya didasarkan pada model pendekatan barat, padahal WHO sendiri menganjurkan perlu adanya strategi mensinergikan antara pengobatan modern dengan pengobatan tradisional sebagai salah satu strategi dalam upaya meningkatkan kesehatan masyakat.
Dari beberapa aturan tentang TM/CAM tampaknya perlu ada upaya yang lebih nyata dalam mengiplementasikan kebijakan WHO, kebijakan UU Kesehatan dan Renstra Depkes agar adanya kesamaan pola fikir, strategi dan langkah dalam menjadikan TM/CAM sebagai salah satu upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Pemerintah perlu membuat indicator kunci yang ditujukan kepada seluruh lembaga pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, pribadi maupun kelompok agar bisa digunakan sebagai pedoman dalam mengaplikasikan penggunaan TM/CAM di dalam pelayanan kesehatan.
C. TM/CAM Bagi Profesi Keperawatan
Perawat sebagai bagian integral pelayan kesehatan hendaknya memahami bahwa TM/CAM yang diadopsi menjadi TM/CAT merupakan salah satu unsur penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pemberian asuhan keperawatan dengan mengkobinasikan berbagai tindakan konvensional dengan TM/CAT sangat penting dilakukan. Hal ini mengingat bahwa sebagian filsafat dari Holistic Nursing yang dijadikan pola fikir oleh ahli-ahli keperawatan bergerak dari konsep TM/CAT (Snyder et all, 2006). Konsep manusia sebagai makhluk holistic, terbuka dan beradaptasi dengan lingkungan, lingkungan sebagai Energy Field yang mempengaruhi kesehatan manusia merupakan bentuk pola fikir abstrak, yang dilandasi oleh filsafat TM/CAT. Oleh karena itu perawat tidak boleh apriori ketika berbicara dan mencoba mengaplikasikan TM/CAT dalam praktek keperawatan sebagai bagian dari Nursing Therapi. Selain itu WHO member petunjuk bahwa perawat dan dokter adalah tenaga kesehatan yang menjadi sasaran yang harus menguasai dam mampu mempraktkkan ketrampilan TM/CAM (WHO,2002). Hal ini juga didukung oleh adanya kebijakan pemerintah Indonesia terkait TM/CAM dalam UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan, meskipin secara ekplisit tidak menjelaskan siapa dan bagaimana aplikasi TM/CAM itu dalam praktek pelayanan kesehatan.
Harapan akomodasi organisasi profesi terhadap penerapan TM/CAM dalam praktek keperawatan tertuang dalam RUU Praktek keperawatan Bab III Pasal 4 bagian b RUU Praktek Keperawatan tentang lingkup Praktek Keperawatan bahwa lingkup praktek keperawatan adalah memberikan tindakan keperawatan langsung, terapi komplementer,......“ Kalau disimak kalimat tentang tindakan yang bisa dilakukan hendaknya ditambahkan dengan pemberian Therapi tradisional/ Komplementer dan Alternatif. Hal ini menyesuaikan dengan rumusan-rumusan yang tercantum, baik dalam kebijakan WHO maupun kebijakan pemerintah Indonesia.
Dukungan kebijakan ini hendaknya diantisipasi oleh tenaga perawat, terutama perawat komunitas, karena seni dan aplikasi TM/CAM sangat mungkin diterapkan dalam praktek komunitas bila dibandingkan dengan praktek klinik di rumah sakit, mengingat kebijakan tentang TM/CAM oleh RS maupun profesi kedokteran hingga saat ini belum ada. Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah:
1. Memahami filsafat dari konsep TM/CAT
2. Mempelajari TM/CAM melalui kurikulum yang lebih komprehensif
3. Mempraktekkan TM/CAT yang terintegrasi dengan nursing therapy lain dalam menangani pasien.
4. Mensosialisasikan penggunaan TM/CAT kepada masyakat untuk meningkatkan rasionalisasi penggunaan TM/CAT
5. Melakukan kajian tentang berbagai TM/CAT yang berkembang di masyarakat
6. Melakukan penelitian tentang Efektivitas, Kualitas dan Efisasi dari TM/CAT yang ada di masyarakat.
7. Mensosialisaikan penggunaan TM/CAT terhadap tenaga keperawatan
8. Membantu pemerintah merumuskan penataan TM/CAT
Bagi tenaga keperawatan yang sudah menerapkan TM/CAT dalam prakteknya maka perlu diperhatikan hal-hal berikut
1. Mendengarkan keluhan dan dan memberikan informasi yg tepat
2. TM/CAT mungkin dapat membantu si pasien namun belum dapat dipastikan
3. Jangan mengganti therapi saat ini dan menggantikan sepenuhnya dengan TM/CAT
4. Ingatkan agar pasien mengamati reaksi dari therapi TM/CAT
5. Jangan menghentikan therapi non farmakologis seperti olahraga atau menurunkan Berat badan
6. Nilai kembali kemajuan pasien setiap kontrol
7. Tenaga kesehatan jangan apriori/skeptis dg therapi alternatif tetapi tetap harus mempelajari dan mengembangkan.
D. Analisis SWOT
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, yang mengacu pada komponen trend penggunaan TM/CAT, standard dan indicator serta konsep TM/CAT bagi perawat selanjutnya dapat disimpulkan sustu bentuk analisis dengan model SWOT sebagai berikut:
1. Kekuatan
a) Perawat merupakan tenaga professional yang keilmuwannya berkembang dari konsep filsafat TM/CAM
b) Perawat memiliki dasar pengetahhuan kesehatan dan keperawatan yang memungkinkan menguasai dan mengembangkan TM/CAT dalam praktek
c) Kewenangan memberikan TM/CAT telah tercantum dalam RUU Praktek keperawatan

2. Kelemahan
a) Pola fikir apriori terhadap TM/CAT oleh sebagain besar tenaga perawat sehingga kemauan mempelajari dan mempraktekan kurang
b) TM/CAT sebagai ilmu yang abstrak sehingga sulit dipahami
c) Kurangnya riset keperawatan yang menggunakan pendekatan TM/CAT
d) Pola fikir yang west minded menyebabkan tidak mau melakukan ekplorasi terhadap penggunaan TM/CAT
e) Tindakan keperawatan jarang diitegrasikan dengan TM/CAM sehingga terkadang kehilangan aspek holistic
f) Belum adanya indicator dan standar tentang penggunaan TM/CAT dapat mengurangi pemanfaataan TM/CAT dalam praktek keperawatan bak klinik maupun komunitas.
g) RUU Praktek Keperawatan belum disahkan sehingga belum memiliki kekuatan hokum dalam mengatur praktek keperawatan termasuk kewenangan memberikan TM/CAT.
h) Belum jelasnya standar asuhan keperawatan dan SOP penggunaan TM/CAT dapat mengakibatkan dampak hukum bagi perawat jika menggunakan TM/CAT dalam praktek.
3. Peluang
a) Strategi WHO, kebijakan pemerintah dan pengakuan terhadap TM/CAT merupakan peluang bagi perawat dalam mengembangkan praktek keperawatan yang lebih holistic.
b) Praktek keperawatan baik di klinik maupun dikomunitas akan lebih sempurna, komprehensif dan holistic bila diintegrasikan dengan TM/CAT
c) TM/CAT merupakan bentuk therapy dengan konsep locality development yang lebih mengedepankan unsur budaya, adat, kebiasaan, kepercayaan dan sumber-sumber potensi setempat sehingga lebih familiar sebagai entry marketing dalam menawarkan jasa keperawatan.

4. Ancaman
a) Masih belum jelasnya aturan terkait penggunaan TM/CAT dalam praktek keperawatan dapat menimbulkan terkait etik dan hokum.
b) Filosofi TM/CAT memiliki akar yang sama dengan filosofi keperawatan, akan tetapi banyak tenaga non keperawatan/kesehatan justeru lebih leluasa melakukan praktek TM/CAT sehingga menjadi ancaman terhadap eksistensi praktek keperawatan.
c) Adanya klaim kata therapy oleh profesi tertentu menyebabkan terjadinya perebutan area praktek antar berbagai profesi terkait penerapan TM/CAT.

Tidak ada komentar: