tag:blogger.com,1999:blog-36423949594127906092024-02-08T09:11:12.687-08:00PRAKTEK MANDIRI PERAWATDidedikasikan untuk para praktisi perawat praktek mandiri di IndonesiaI Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-43099892892674872011-01-06T11:19:00.001-08:002011-01-06T11:19:46.130-08:00OBAT TRADISIONAL TERBAIK UNTUK KANKER________________________________________<br />
OBAT TRADISIONAL UNTUK KANKER TERKINI DAN TERBAIK<br />
<br />
http://uniqpost.com/8337/<br />
<br />
Inilah Obat Kanker Paling Ampuh yang Disembunyikan Bertahun-tahun<br />
<br />
Posted by dimazm on October 20, 2010 in u-Health • 35 Comments<br />
Buat Kalian Yang Suka Tulisan Uniqpost , Jangan Lupa Like uniqpost fan<br />
page ! Klik disini<br />
<br />
Selama ini kita tahu bahwa kanker hanya bisa diobati dengan terapi kemo.<br />
Namun tampaknya persepsi ini harus dihapus dan dibuang sejauh-jauhnya.<br />
Kenapa? Karena sebenarnya ada obat alami untuk membunuh sel kanker yang<br />
kekuatannya SEPULUH RIBU KALI LIPAT lebih ampuh dibanding terapi kemo.<br />
Obat alami ini adalah buah yang familiar dengan orang Indonesia.<br />
<br />
Tapi kenapa kita tidak tahu ?<br />
<br />
Karena salah satu perusahaan Dunia merahasiakan penemuan riset mengenai<br />
hal ini serapat2nya, mereka ingin dana riset yang di keluarkan sangat<br />
besar, selama bertahun-tahun, dapat kembali lebih dulu plus keuntungan<br />
berlimpah dengan cara membuat pohon Graviola Sintetis sebagai bahan baku<br />
obat dan obatnya di jual ke pasar dunia…<br />
<br />
Memprihatinkan, beberapa orang meninggal sia2, mengenaskan, karena<br />
keganasan kanker, sedangkan perusahaan raksasa, pembuat obat dengan omzet<br />
milyaran dollar menutup rapat2 rahasia keajaiban pohon graviola ini.<br />
<br />
Pohonnya rendah, di brazil dinamai “Graviola”, di Spanyol “Guanabana”<br />
bahasa inggrisnya “soursop”. Di Indonesia, ya buah sirsak. Buahnya berduri<br />
lunak, daging buah berwarna putih, rasanya manis2 kecut/asam, dimakan<br />
dengan cara membuka kulitnya atau di buat jus.<br />
<br />
Khasiat dari buah sirsak ini memberikan effek anti tumor/kanker yang<br />
sangat kuat, dan terbukti secara medis menyembuhkan segala jenis kanker.<br />
Selain menyembuhkan kanker, buah sirsak juga berfungsi sebagai anti<br />
bakteri, anti jamur (fungi), efektif melawan berbagai jenis<br />
parasit/cacing, menurunkan tekanan darah tinggi, depresi, stress, dan<br />
menormalkan kembali system syaraf yang kurang baik.<br />
<br />
Salah satu contoh betapa pentingnya keberadaan Health Science Institute<br />
bagi orang2 amerika adalah institute ini membuka tabir rahasia buah ajaib<br />
ini. Fakta yang mencengangkan adalah : jauh dipedalaman hutan amazon,<br />
tumbuh “pohon ajaib”, yang akan merubah cara berpikir anda, dokter anda,<br />
dan dunia mengenai proses penyembuhan kanker dan harapan untuk bertahan<br />
hidup. Tidak ada yang bisa menjanjikan lebih dari hal ini, untuk masa2<br />
yang akan datang.<br />
<br />
Riset membuktikan “pohon ajaib” dan buahnya ini bisa :<br />
• Menyerang sel kanker dengan aman dan efektif secara alami, Tanpa rasa<br />
mual, berat badan turun, rambut rontok, seperti yang terjadi pada terapi<br />
kemo.<br />
• Melindungi sistim kekebalan tubuh dan mencegah dari infeksi yang mematikan.<br />
• Pasien merasakan lebih kuat, lebih sehat selama proses perawatan /<br />
penyembuhan.<br />
• Energi meningkat dan penampilan fisik membaik.<br />
<br />
Sumber berita sangat mengejutkan ini berasal dari salah satu pabrik obat<br />
terbesar di Amerika. Buah Graviola di-test di lebih dari 20 Laboratorium,<br />
sejak tahun 1970-an sampai beberapa tahun berikutnya. Hasil test dari<br />
ekstrak ( sari ) buah ini adalah<br />
• Secara efektif memilih target dan membunuh sel jahat dari 12 tipe kanker<br />
yang berbeda, diantaranya kanker : Usus Besar, Payu Dara, Prostat, Paru2,<br />
dan Pankreas.<br />
• Daya kerjanya 10.000 kali lebih kuat dalam memperlambat pertumbuhan sel<br />
kanker dibandingkan dengan Adriamicin dan Terapi Kemo yang biasa di<br />
gunakan.<br />
• Tidak seperti terapi kemo, sari buah ini secara selektif hanya memburu<br />
dan membunuh sel2 jahat dan TIDAK membahayakan/ membunuh sel2 sehat.<br />
<br />
Riset telah di lakukan secara ekstensive pada pohon “ajaib” ini, selama<br />
bertahun-tahun tapi kenapa kita tidak tahu apa2 mengenai hal ini ?<br />
jawabnya adalah : begitu mudah kesehatan kita, kehidupan kita,<br />
dikendalikan oleh yang memiliki uang dan kekuasaan.<br />
<br />
Salah satu perusahaan obat terbesar di Amerika dengan omzet milyaran<br />
dollar melakukan riset luar biasa pada pohon Graviola yang tumbuh dihutan<br />
Amazon ini. Ternyata beberapa bagian dari pohon ini : Kulit kayu, akar,<br />
daun, daging buah dan bijinya, selama berabad-abad menjadi obat bagi suku<br />
Indian di Amerika selatan untuk menyembuhkan : sakit jantung, asma,<br />
masalah liver (hati) dan reumatik. Dengan bukti2 ilmiah yang minim,<br />
perusahaan mengucurkan dana dan sumber daya manusia yang sangat besar guna<br />
melakukan riset dan aneka test. Hasilnya sangat mencengangkan. Graviola<br />
secara ilmiah terbukti sebagai mesin pembunuh sel kanker.<br />
<br />
Tapi… kisah Graviola hampir berakhir disini. Kenapa?<br />
<br />
Dibawah undang2 federal, sumber bahan alami untuk obat DILARANG / TIDAK<br />
BISA dipatenkan.<br />
<br />
Perusahaan menghadapi masalah besar, berusaha sekuat tenaga dengan biaya<br />
sangat besar untuk membuat sinthesa/cloning dari Graviola ini agar bisa di<br />
patenkan sehingga dana yang di keluarkan untuk riset dan aneka test bisa<br />
kembali, dan bahkan meraup keuntungan besar. Tapi usaha ini tidak<br />
berhasil. Graviola tidak bisa di-kloning. Perusahaan gigt jari setelah<br />
mengeluarkan dana milyaran dollar untuk riset dan aneka test.<br />
<br />
Ketika mimpi untuk mendapatkan keuntungan lebih besar ber-angsur2 memudar,<br />
kegiatan riset dan test juga berhenti. Lebih parah lagi, perusahaan<br />
menutup proyek ini dan memutuskan untuk TIDAK mempublikasikan hasil riset<br />
ini.<br />
<br />
Beruntunglah, ada salah seorang Ilmuwan dari team riset tidak tega melihat<br />
kekejaman ini terjadi. Dengan mengorbankan karirnya, dia menghubungi<br />
sebuah perusahaan yang biasa mengupulkan bahan2 alami dari hutan amazon<br />
untuk pembuatan obat.<br />
<br />
Ketika para pakar risetdari Health Science Institute mendengar berita<br />
keajaiban Graviola, mereka mulai melakukan riset. Hasilnya sangat<br />
mengejutkan. Graviola terbukti sebagai pohon pembunuh sel kanker yang<br />
efektif.<br />
<br />
The National Cancer Institute mulai melakukan riset ilmiah yang pertama<br />
pada tahun 1976. hasilnya membuktikan bahwa daun dan batang kayu Graviola<br />
mampu menyerang dan menghancurkan sel2 jahat kanker. Sayangnya hasil ini<br />
hanya untuk keperluan intern dan tidak di publikasikan.<br />
<br />
Sejak 1976, Graviola telah terbukti sebagai pembunuh sel kanker yang luar<br />
biasa pada uji coba yang di lakukan leh 20 Laboratorium Independence yang<br />
berbeda.<br />
<br />
Suatu studi yang di publikasikan oleh The Journal of Natural Products<br />
meyatakan bahwa studi yang dilakukan oleh Catholic University di korea<br />
selatan, menyebutkan bahwa salah satu unsure kimia yang terkandung di<br />
dalam Graviola, mampu memilih, membedakan dan membunuh sel kanker Usus<br />
Besar dengan 10.000 kali lebih kuat dibandingkan dengan adriamicin dan<br />
Terapi Kemo.<br />
<br />
Penemuan yang paling mencolok dari study Catholic University ini adalah :<br />
Graviola bisa menyeleksi memilih dan membunuh hanya sel jahat kanker,<br />
sedangkan sel yang sehat tidak tersentuh/terganggu . Graviola tidak<br />
seperti terapi kemo yang tidak bisa membedakan sel kanker dan sel sehat,<br />
maka sel2 reproduksi (seperti lambung dan rambut) dibunuh habis oleh<br />
terapi kemo, sehingga timbul efek negatif : rasa mual dan rambut rontok.<br />
<br />
Sebuah studi di Purdue University membuktikan bahwa daun Graviola mampu<br />
membunuh sel kanker secara efektif, terutama sel kanker : prostate,<br />
pancreas, dan Paru2.<br />
<br />
Setelah selama kurang lebih dari 7 tahun tidak ada berita mengenai<br />
Graviola, akhirnya berita keajaiban ini pecah juga, melalui informasi dari<br />
lembaga2 tersebut di atas.<br />
<br />
Pasokan terbatas ekstrak Graviola yang di budidayakan dan di panen oleh<br />
orang2 pribumi Brazil, kini bisa di peroleh di Amerika.<br />
<br />
Sirsak mempunyai manfaat yang sangat besar dalam pencegahan dan<br />
penyembuhan penyakit kanker.<br />
<br />
Untuk pencegahan:<br />
disarankan makan atau minum jus buah sirsak.<br />
<br />
Untuk penyembuhan:<br />
- 10 buah daun sirsak yang sudah tua (warna hijau tua) dicampur ke dalam 3<br />
gelas air dan direbus terus hingga menguap<br />
dan air tinggal 1 gelas saja.<br />
- Air yang tinggal 1 gelas diminumkan ke penderita setiap hari 2 kali.<br />
- Setelah minum, efeknya katanya badan terasa panas, mirip dengan efek<br />
kemoterapi.<br />
<br />
Dalam waktu 2 minggu, hasilnya bisa dicek ke dokter, katanya cukup<br />
berkhasiat.<br />
Daun sirsak ini katanya sifatnya seperti kemoterapi,<br />
bahkan lebih hebat lagi karena daun sirsak hanya membunuh sel sel yang<br />
tumbuh abnormal<br />
dan membiarkan sel sel yang tumbuh normal.<br />
<br />
Sedangkan kemoterapi masih ada efek membunuh juga sebagian sel sel yang<br />
normal.<br />
<br />
Sekarang anda tahu manfaat buah sirsak yang luar biasa ini. Rasanya manis2<br />
kecut menyegarkan. Buah alami 100% tanpa efek samping apapun.Sebar luaskan<br />
kabar baik ini kepada keluarga, saudara, sahabat,dan teman yang anda<br />
kasihi.<br />
<br />
Kisah lengkap tentang Graviola, dimana memperolehnya, dan bagaimana cara<br />
memanfaatkannya, dapat di jumpai dalam Beyond Chemotherapy : New Cancer<br />
Killers, Safe as Mother’s Milk, sebagai free special bonus terbitan Health<br />
Science Institute.<br />
<br />
<br />
__._,_.___<br />
====================================<br />
Media Komunikasi Alumni Dan Anggota<br />
Asrama Mahasiswa Bali Tirtha Gangga Surabaya<br />
Jl. Kertajaya X/6 Surabaya, Telp.(031)5019381<br />
====================================I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-39874589913884600742011-01-06T11:09:00.001-08:002011-01-06T11:14:20.460-08:00RANCANGAN PENGKAJIAN DEPRESI LANSIARANCANGAN PENGKAJIAN PADA AGGREGAT LANSIA DENGAN DEPRESI APLIKASI MODEL COMMUNITY AS PARTNER DI KELURAHAN TUGU KOTA DEPOK<br />
<br />
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Aplikasi Keperawataan Komunitas Lanjut II<br />
Oleh<br />
I Wayan Suardana<br />
NPM : 0906594362<br />
<br />
<br />
<br />
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN<br />
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN KOMUNITAS<br />
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA<br />
2010<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
<br />
A. Latar Belakang<br />
Wujud nyata dari keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia dapat dilihat dari makin meningkatkan rata-rata umur harapan hidup penduduk Indonesia, yang berdampak pada makin banyaknya jumlah lanjut usia pada populasi penduduk Indonesia. Lanjut usia adalah mereka yang berumur 60 tahun atau lebih ( UU NO 13 tahun 1998). Jumlah usia lanjut di Indonesia pada tahun 1985 sekitar 7% dari populasi atau sekitar 10 juta orang, angka ini meningkat menjadi 9 % pada tahun 1995 atau dengan estimasi sebesar 15 juta orang. Angka tersebut meningkat menjadi 11 % pada tahun 2005 dan pada tahu 2010 diperkirakan 12 % penduduk Indonesia ( 22 juta) jiwa termasuk kelompok lanjut usia (Susenas,2007). <br />
Meningkatnya umur harapan hidup, sekitar 48 tahun pada tahun 1965, menjadi sekitar 68 tahun pada tahun 2005, di satu pihak merupakan prestasi, namun dilain pihak menjadi tantangan yang sangat besar dari semua pihak baik secara ekonomi, sosial, budaya maupun kesehatan. Tantangan terbesar dalam keperawatan terkait dengan lanjut usia adalah upaya mempertahankan agar lansia tetap sehat baik secara fisik, psikologis dan sosial serta tetap bisa produktif sesuai dengan kapasitasnya, walaupun meninggal maka diharapkan lansia dapat meninggal dengan tenang.<br />
Lansia merupakan makhluk hidup, yang secara alamiah akan melalui siklus kehidupan berupa proses menua. Proses menua merupakan proses alami yang terjadi pada seluruh system, yang ditandai dengan berubahnya atanomi yang berdampak pada makin menurunnya fungsi dari setiap organ dalam system tubuh tersebut. Proses menua pada setiap manusia sangat berbeda, ada yang lambat dan fisiologis dan ada pula yang cepat dan bersifat patologis. Penurunan fisik, fisiologis mental dan sosial secara langsung maupun tidak langsung yang tidak diantisipasi dengan baik akan dapat menimbulkan masalah. Masalah fisik yang muncul dapat berkembang menjadi masalah lain seperti masalah ekonomi, sosial, budaya dan masalah psikologis. Masalah psikologis yang saat ini sering ditemukan pada lansia, namun senantiasa terabaikan adalah depresi. (Darmojo & Martono,1998).<br />
Masalah psikologis dapat berkembang dari masalah psikologis ringan hingga berkembang menjadi neurosis hingga depresi. Depresi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya isolasi sosial, gangguan konsep diri dan yang lebih berat dapat menjadi penyebab perilaku bunuh diri (Stuart & Laria,1998). <br />
Depresi terus menjadi masalah kesehatan mental yang serius. Studi epidemiologi tentang depresi diantara lansia komunitas melaporkan tingkat yang sangat bervariasi mulai 2 hingga 44 %. Gejala- gejala depresi dialami hamper 5-10% dari semua orang yang berumur lebih dari 60 tahun. Gejala depresi muncul akibat keterlambatan penyesuaian terhadap kehilangan baik pekerjaan, penghasilan, pasangan hidup, kemampuan fungsi fisik dan melemahnya silaturahmi dengan keluarga (Stanley&Beare,2006;Tuty,2007)). <br />
Sejauh ini prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15%. Dari Laporan Meta analisis dari penelitian-penelitian di dunia didapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia sebesar 13,5% dengan perbandingan wanita dan pria 14,1:8,6. (Dahrmono,2007). Menurut Widnya (2007) pada tahun 2020 diperkirakan lansia yang mendeita depresi akan terus meningkat sebagai dampak dari berbagai masalah dunia. Depresi banyak ditemukan pada lansia yang hidup sendiri, menderita penyakit kronis dan secara ekonomi sangat kurang. Lansia yang menderita depresi memiliki risiko bunuh diri, seperti dialami oleh lansia di Amerika, Australia maupun Indonesia (Martina,2002 dalam Aryani 2008).Dengan demikian, perlu kiranya dilakukan asuhan keperawatan komunitas untuk mampu mengkaji dan memberikan penanganan pada kasus-kasus depresi dimasyarakat dengan menggunakan pendekatan Community As Partner sebagai pengkajian keperawatan komunitas dalam rangka praktek aplikasi mahasiswa Program Studi Pascasarjana Kekhususan Keperawatan Komunitas di Kelurahan Tugu Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Penggunaan Model Community as Partner didasarkan pada analisis, bahwasanya Model Coomunity as Partner merupakan model yang komprehensif, sederhana dan mudah dipahami.<br />
<br />
B. TUJUAN<br />
1. Tujuan Umum<br />
Mengetahui gambaran tentang timbulnya risiko depresi pada lansia dengan pendekatan model Community As Partner di Kelurahan Tugu Depok. <br />
2. Tujuan Khusus<br />
a. Menyusun rancangan pengkajian terkait lansia yang berisiko mengalami depresi dengan pendekatan model Community As Partner.<br />
b. Menyusun instrumen pengkajian pada lansia yang berisiko mangalami depresi dengan pendekatan model Community As Partner.<br />
c. Melakukan pengkajian dengan pendekatan model Community As Partner.<br />
d. Mengetahui masalah yang dialami dan kebutuhan yang diperlukan bagi lansia dengan risiko depresi .<br />
e. Dapat memprioritaskan masalah yang terjadi sehingga dapat mengambil keputusan untuk menanggulanginya.<br />
f. Dapat membuat rancangan kegiatan yang sesuai dalam rangka memecahkan masalah keperawatan yang ada.<br />
<br />
C. Ruang Lingkup Pengkajian<br />
Ruang lingkup pengkajian dengan menggunakan model Community As Partner pada aggregat lansia dengan risiko mangalami depresi . Pengkajian yang dilakukan adalah terhadap inti komunitas dan delapan subsistemnya. Inti komunitas yaitu demografi, etnis, kepercayaan dan statistik vital yang dikaitkan dengan aggregat. Subsistem yang dikaji meliputi lingkungan fisik lansia , pelayanan kesehatan sosial untuk lansia, transportasi dan keamanan, politik dan pemerintahan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
MODEL PENGKAJIAN<br />
<br />
A. DEFINISI AGREGAT<br />
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999). Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni :<br />
a. Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia.<br />
b. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).<br />
c. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.<br />
B. TEORI DEPRESI<br />
Depresi merupakan gangguan afektif yang ditandai dengan adanya mood yang sedih, hilang minat dan mudah putus asa ( Stuart and Laria, 1997;2002). Individu yang terkena depresi pada umumya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik dan sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan menurunnya daya tahan.<br />
1) Gejala fisik; gangguan pola tidur ( sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit), menurunnya tingkat aktifitas, menurunya efisiensi kerja, menurunnya produktifitas kerja, mudah merasa letih dan sakit<br />
2) Gejala psikis ; a) kehilangan percaya diri penyebabnya orang tersebut cenderung memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. b) Sensitif : orang yang mengalami depresi sering memandang peristiwa netral dipandang dari sudut pandang yang berbeda, bahkan disalah artikan akibatnya mudah tersinggung,mudah marah, perasa, curiga, mudah sedih, murung dan lebih suka menyendiri. c) Merasa dirinya tidak berguna : Perasaan tidak berguna karena merasa menjadi orang gagal terutama dibidang atau lingkungan yang seharusnya mereka kuasai. d) Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang mengalami depresi. Mereka memendang sesuatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat kegagalan melaksanakan tanggungjawab yang dikerjakan. e) Perasaan terbebani. Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dilaminya.<br />
3) Gejala Sosial : Problem sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah interaksi dengan rekan kerja, atasan, bawahan. Masalah bisa berbentuk konflik, minder, malu, cemas jika berada diantara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalani hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.<br />
<br />
<br />
Tingkatan depresi<br />
DepKes RI (1993) membagi episode depresif menjadi 3 variasi : ringan, sedang, berat<br />
a. Depresi ringan<br />
Suasana perasaan ( mood) yang depresif, kehilangan minat dan kesenangan dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala dari depresi yang paling khas dan sekurang-kurangnya dua hari ditambah gejala lazim lainnya : konsentrasi dan perhatian kurang, harga diri dan kepercayaan diri kurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri dan bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan kurang<br />
b. Episode depresif sedang<br />
Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala paling khas yang ditentukan untuk epidode depresi ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga ( dan sebaiknya 4) gejala lainnya. Individu dengan depresif taraf sedang biasanya menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.<br />
c. Episode depresif berat tanpa gejala panik<br />
Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak berguna mungkin mencolok dan bunuh diri mungkin bahaya nyata terutama pada beberapa kasus berat. Selama episode depresi berat, sangat tidak mungkin penderita akan mampu meneruskan kegitan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga kecuali pada taraf yang sangat terbatas. <br />
<br />
<br />
C. MODEL PENGKAJIAN<br />
Pengkajian komunitas merupakan suatu upaya untuk menganal masyarakat, karena masyarakat merupakan mitra yang berkontribusi terhadap keseluruhan asuhan keperaatan komunitas. Tujuan pengkajian komunitas adal untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keseluruhan proses baik faktor yang memperlemah maupun yang memperkuat agar dapat mengembangkan strategi promosi kesehatan ( Andeson dan Mc Farlane,2000). Informasi yang didapatkan dalam pengkajian dapat digunakan sebagai informasi untuk perubahan dan pemberdayaan ( Hancock dan Minkler, 1997 dalam Anderson dan Mc Farlane,2000). <br />
Berdasarkan pada model pendekatan dari Neuman, 1972 dalam Anderson dan Mc Farlane, 2000, model komunitas sebagai klien telah dikembangkan menjadi suatu model yang diberi nama dengan model komunitas sebagai partner. Model ini memberi penekanan pada filosofi yang mendasari perawatan kesehatan utama. Model komunitas sebagai partner, terdapat dua fokus sentral, yaitu fokus pada komunitas sebagai partner (direpresentasikan oleh roda pengkajian komunitas pada bagian atas, yang menggabungkan orang-orang dari komunitas sebagai inti) dan penggunaan proses keperawatan. <br />
Inti dari roda pengkajian merepresentasikan orang-orang yang menyusun komunitas. Yang termasuk dalam inti adalah demografis dari populasi, serta nilai-nilai, kepercayaan, dan sejarahnya. Orang-orang dari komunitas, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh delapan subsistem dari komunitas. Subsistem-subsistem ini adalah: lingkungan fisik, pendidikan, keamanan dan transportasi, politik dan pemerintah, layanan kesehatan dan sosial, komunikasi, ekonomi, dan rekreasi (Anderson & McFarlane, 2000 ).<br />
Penerapan model Commmunity as Partner dalam pengkajian populasi/aggregat lansia dengan masalah risiko terjadi depresi adalah:<br />
1. Inti Komunitas<br />
a. Sejarah<br />
Data yang dikaji adalah sejarah terbentuknya kelurahan tugu, dan data terkait sejarah terjadinya atau ditemukannya penyakit depresi pada lanjut usia. Termasuk di dalamnya adalah data riwayat keluarga yang menderita depresi atau penyakit gangguan jiwa lainnya. <br />
Metoda yang digunakan dalam mencari data ini adalah literatur review dari laporan Puskesmas dan data dari pihak RW, pemuka masyarakat serta kader.<br />
b. Demografi dan Etnik<br />
Data yang dikaji antara lain umur, jenis kelamin, ras, etnik terutama kelompok lansia dan khususnya lansia penderita depresi.<br />
c.Vital Statistik <br />
Angka kesakitan meliputi jumlah penderita depresi. Angka Kematian meliputi jumlah kematian bunuh diri atau akibat menarik diri dan diabaikan oleh keluarga. <br />
c. Etnisitas<br />
Gaya hidup kelompok masyarakat terutama dalam pola komunikasi, hubungan antar individu, bentuk keluarga, dukungan antar keluarga. Sumber data dari orang pemuka masyarakat, tenaga kesehatan, observasi dan pihak RW.<br />
d. Nilai-nilai dan Kepercayaan<br />
Agama, nilai dan kepercayaan yang dianut oleh keluarga terkait makna hidup, dukungan keluarga terhadap lanjut usia., warisan budaya/ pola kebiasaan serta stigma masyarakat/ keluarga terhadap pengabaian orang tua. <br />
Sumber dari orang tua, kepala keluarga dan pemuka masyarakat. dengan metoda kuisioner.<br />
<br />
2. Sub Sistem <br />
a. Lingkungan fisik<br />
Hal-hal yang dikaji meliputi status rumah, type rumah, keadaan atau kondisi rumah termasuk kepadatan, ventilasi, pencahayaan, dan kebersihan, keamanan, kesesuaian dengan kondisi lansia. Kondisi lingkungan, terutama sosial yang tidak baik dapat menjadi pemicu timbulnya depresi. Sumber data dari kepala keluarga dan lingkungan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi.<br />
b. Pelayanan Sosial dan Kesehatan<br />
Dukungan pelayanan sosial seperti tunjangan khusus untuk lanjut usia. Kepemilikan kartu jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan baik di dalam maupun di luar komunitas seperti RS, Praktik dokter, bidan, perawat ; Puskesmas dan Pelayanan kesehatan khusus ( Posyandu lansia, ) dapat menjadi pendukung untuk proses penyembuhan depresi. . Data yang perlu dikumpulkan adalah sebagai berikut : <br />
• Struktur organisasi<br />
• Pelayananya (waktu, ongkos, rencana kerja)<br />
• Sumber daya (tenaga, tempat, dana, perencanaan)<br />
• Karakteristik pemakai (penyebaran geografi, gaya hidup, sarana transportasi)<br />
• Kecukupan dan keterjangkauan oleh pemakai dan pemberian pelayanan<br />
<br />
<br />
<br />
c. Ekonomi<br />
Karakteristik rata – rata pendapatan lansia secara khusus dan keluarga serta karakteristik pekerjaan baik lansia maupun keluarga. Alokasi penggunaan pendapatan. Pendapatan yang rendah merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya depresi. <br />
Sumber data dari responden melalui metode kuisioner.<br />
d. Transportasi dan keamanan/ keselamatan<br />
Hal yang dikaji meliputi transportasi mencapai fasilitas kesehatan dan sosial. Kemudahan mencapai akses kesehatan, dan kemudahan mendapat sumber makanan. Sumber data dari responden, metode yang digunakan adalah kuesioner dan Winshield Survey.<br />
e. Politik dan Pemerintahan<br />
Apakah masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan dalam mengatasi masalah, penyusunan program di masyarakat khususnya dalam penanganan depresi pada lanjut usia. Adakah bantuan dari pemerintah atau swasta dalam mengatasi masalah penanggulangan depresi pada lansia.. Sumber data dari tokoh masyarakat dan Puskesmas melalui metode wawancara.<br />
<br />
f. Komunikasi<br />
Pola komunikasi antar anggota keluarga. Pola komunikasi antar pengurus RT/RW dengan warga khususnya lanjut usia. Media komunikasi apa yang digunakan keluarga dalam memperoleh informasi tentang depresi pada lanjut usia. Pola komunikasi merupakan hal yang sangat penting, karena komunikasi dapat menjadi penyebab dan sekaligus solusi dari masalah depresi. Sumber data dari responden menggunakan metode observasi, wawancara dan kuisioner.<br />
<br />
g. Pendidikan<br />
Tingkat pendidikan kelompok lansia, sangat mempengaruhi dalam tranformasi perikau dalam upaya mengatasi depresi.<br />
<br />
h. Rekreasi<br />
Dimana warga bermain ? Apakah tersedia tempat bermain untuk para lanjut usia? Apa saja bentuk rekreasi utama? Fasilitas untuk rekreasi yang terlihat? Apakah cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan rekreasi lansia. <br />
Sumber data dari ketua RW, wawancara dengan lansia dan melalui Winshield Survey.<br />
<br />
Persepsi Masyarakat<br />
• Bagaimana persepsi masyarakat tentang depresi pada lansia?<br />
• Masalah-masalah? (Tanyakan beberapa orang dari kelompok berbeda misalnya tokoh masyarakat, kader kesehatan, tokoh formal, dan ibu rumah tangga ) tentang program penanggulangan depresi pada lanjut usia, keuntungan dan kerugiannya.<br />
• Bagaimana pengetahuan lansia terhadap pengenalan risiko depresi pada lansia keluarga maupun lansia seperti pengertian, tanda, gejala, penyebab dampak dan pencegahan dan penanganannya.<br />
• Bagaimana sikap keluarga dan masyarakat lanjut usia yang menderita depresi dan berisiko menderita depresi. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
(Model Community as partner dari McFarlane, 2000)<br />
<br />
<br />
<br />
BAB III<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
<br />
A. DESAIN PENELITIAN<br />
Jenis penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif dengan rancangan deskriptif guna mendapatkan informasi yang luas tetapi tidak mendalam. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan cross sectional yaitu mengamati variabel yang diteliti di suatu populasi pada satu saat (Murti, 2006). Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini, jika ditemukan depresi dan faktor-faktor risiko depresi terjadinya dapat ditanggulangi, maka tidak terdapat lansia yang menderita depresi. <br />
B. POPULASI DAN SAMPEL<br />
<br />
Populasi dalam pengkajian keperawatan komunitas ini adalah seluruh lansia di Kelurahan Tugu dari RW 01 sampai dengan RW 11 dengan risiko depresi tahun 2010 sebanyak 5039. Berdasarkan teori, prevalensi depresi pada lansia berkisar antara 5 – 15 % dengan demikian dapat diasumsikan jumlah populasi lansia yang menderita depresi di Kelurahan Tugu adalah 0,05x5039 adalah 252 orang. Dari populasi tersebut selanjutnya dihitung besar sampel dengan menggunakan rumus besar sample.<br />
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2006). Teknik pengambilan sampel dengan non-probability sampling yaitu purposive sampling dimana dilakukan karena pertimbangan tertentu. Wilayah yang digunakan adalah RW 01 sampai 11 dengan tingkat kepercayaan 95%, setelah dihitung dengan rumus <br />
Nn= zα2 p (1-p)<br />
d 2<br />
<br />
<br />
Dari kasus depresi pada lansia diketahui prevalensi 5 % jadi P (0,05)<br />
Z zα2 95% = 1,96<br />
d = 0,05<br />
maka besar sampel yang dibutuhkan adalah sebesar 73,6 orang atau dibukatkan menjadi 74 orang.<br />
<br />
C. RENCANA ANALISIS<br />
<br />
1. Pre analisa<br />
a) Cleaning : pemeriksaan atas kelengkapan pengisian kuesioner.<br />
b) Editing : pemeriksaan terhadap kejelasan makna jawaban, konsistensi dan relevansi jawaban serta keseragaman satuan pengukuran<br />
c) Coding : pengkalisifikasian data menurut kategori masing-masing jawaban untuk menghindari duplikasi kategori.<br />
<br />
2. Analisa Data Kuantitatif<br />
Data yang bersifat kuantitatif yang telah dikelompokkan sesuai kategori dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam tabel dan narasi.<br />
Analisa data deskriptif menggunakan analisis statistik deskriptif univariat, multivariat yaitu dengan mengitung distribusi frekwensi dan proporsinya.<br />
3. Sintesa data<br />
Sintesis adalah gabungan dari elemen-elemen yang terpisah atau bagian-bagian ke dalam suatu kesatuan yang koheren, yang pada akhirnya dapat dirumuskan diagnosis keperawatan komunitas. Setelah data dianalisa secara kuantitatif dan kualitataif, kesimpulan/interpretasi yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai data subyektif dan obyektif dalam merumuskan diagnosis keperawatan komunitas pada kelompok lansia yang berisiko mengalami depresi. <br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Azwar, A. (2008). Kebijakan Promosi Kesehatan. Hand Out Kuliah. Depok: FIK UI.<br />
Anderson & Mc.Farlane (2000). Community as partner: Theory and practice in nursing. (Third edition). Philadelphia: Lippincot.<br />
Ervin, NF. (2002). Advanced community health nursing : Concept and practice. (5 th ed). Philadelphia: Lippincot. Friedman, Bowden, Jones (2003) Family nursing; research, theory & practice, New Jersey, Prentice Hall.<br />
<br />
Husain. (2001). Mengapa harus bunuh diri. Jakarta. Qisti Press.<br />
<br />
Keliat (1993). Kedaruratan pada gangguan alam perasaan.Jakarta. Arcan.<br />
<br />
Kunjtoro (2002). Dukungan sosial pada lansia. http://www.epsikologi.com/usia diperoleh 13 Maret 2010.<br />
<br />
Mustikasi. (2004). Faktor-faktor risiko perilaku mencederai diri; bunuh diri pada klien gangguan jiwa di rumah sakit jiwa . Thesis tidak dipulikasikan<br />
Murti, B. (2006). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta. <br />
Pollit and Hungler. (2005). Nursing research;principle and method. six edition. Philadelpia.Lippincott.<br />
Stanhope, M. & Lancaster, J. (1996). Community health nursing : Promoting health of agregates, families and individuals. (4 th ed). St.Louis: Mosby, inc.<br />
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan.Bandung: Penerbit Alfabeta.<br />
<br />
Sopiyudin. (2008). Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Jakarta. Sagung Seto.<br />
<br />
<br />
Surilena.(2005). Fenomena bunuh diri pada masyarakat Indonesia.Majalah kedokteran Atmajaya Vol 4 no 3 September 2005.<br />
<br />
Stuart & Laria (1998). Buku saku keperawatan jiwa. Jakarta.EGC<br />
<br />
<br />
Widnya.(2008). Bunuh diri di Bali perspektif budaya dan lingkungan hidup. Journal Institut Hindu Dharma Negeri. Denpasar.I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-62948286692969486822011-01-06T10:13:00.003-08:002011-01-06T10:13:26.294-08:00PERKESMAS BUKAN TUGAS PERAWAT ?????????KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR : 81/MENKES/SK/I/2004<br />
TENTANG<br />
PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN SUMBER DAYA MANUSIA<br />
KESEHATAN DI TINGKAT PROPINSI, KABUPATEN/KOTA<br />
SERTA RUMAH SAKIT<br />
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />
Menimbang : a. bahwa dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional<br />
berwawasan kesehatan menuju Indonesia Sehat pada Tahun<br />
2010, perlu didukung oleh sumber daya manusia kesehatan<br />
yang berkualitas secara terencana sesuai dengan kebutuhan;<br />
b. bahwa untuk melaksanakan perencanaan sumber daya<br />
manusia kesehatan perlu adanya suatu pedoman yang<br />
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.<br />
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor : 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan<br />
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor : 100, Tambahan<br />
Lembaran Negara Nomor : 3495);<br />
2. Undang-undang Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah<br />
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor : 60,<br />
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3839);<br />
3. Undang-undang Nomor : 25 Tahun 1999 tentang<br />
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah<br />
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor : 169, Tambahan<br />
Lembaran Negara Nomor : 3637);<br />
4. Undang-undang Nomor : 43 Tahun 1999 tentang Perubahan<br />
Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok<br />
Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor : 169,<br />
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3890);<br />
5. Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1996 tentang<br />
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor :<br />
49, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3637);<br />
6. Peraturan Pemerintah Nomor : 25 Tahun 2000 tentang<br />
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai<br />
Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor : 54,<br />
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3952);<br />
7. Keputusan Presiden RI Nomor : 87 Tahun 1999 tentang<br />
Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;<br />
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1277/Menkes/SK/V/<br />
2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen<br />
Kesehatan;<br />
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 850/Menkes/SK/V/<br />
2000 tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan<br />
Tahun 2000 – 2010.<br />
M E M U T U S K A N<br />
Menetapkan :<br />
Pertama : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN<br />
PENYUSUNAN PERENCANAAN SUMBER DAYA MANUSIA<br />
KESEHATAN DI TINGKAT PROPINSI, KABUPATEN/KOTA<br />
SERTA RUMAH SAKIT.<br />
Kedua : Pedoman Penyusunan Perencanaan dimaksud Diktum Pertama<br />
sebagaimana terlampir dalam Lampiran Keputusan ini.<br />
Ketiga : Pedoman dimaksud Diktum Kedua agar digunakan sebagai acuan<br />
oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Rumah Sakit<br />
dalam penyusunan perencanaan sumber daya manusia<br />
kesehatan.<br />
Keempat : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />
Ditetapkan di Jakarta<br />
Pada tanggal, 13 Januari 2004<br />
MENTERI KESEHATAN<br />
Dr. ACHMAD SUJUDI<br />
Lampiran<br />
Keputusan Menteri Kesehatan<br />
Nomor : 81/MENKES/SK/I/2004<br />
Tanggal: 13 Januari 2004<br />
PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN SDM KESEHATAN<br />
DI TINGKAT PROPINSI, KABUPATEN/KOTA<br />
SERTA RUMAH SAKIT<br />
BAB I.<br />
PENDAHULUAN<br />
I.1. Latar Belakang<br />
Keberhasilan pembangunan di daerah khususnya di Kabupaten dan Kota sangat<br />
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan peran aktif masyarakat sebagai<br />
pelaku pembangunan tersebut. Oleh karena itu dalam pertemuan Nasional Bupati<br />
dan Walikota se-Indonesia dalam rangka Desentralisasi di bidang kesehatan, tanggal<br />
28 Juli 2000 di Jakarta telah disepakati bahwa peningkatan kualitas sumber daya<br />
manusia di Daerah merupakan prioritas dalam pelaksanaan pembangunan di<br />
daerah.<br />
Hal ini sesuai dengan ramalan seorang ahli dalam bukunya Megatrend 2000 yaitu,<br />
”Terobosan yang paling menggairahkan dari abad ke 21 akan terjadi bukan karena<br />
teknologi, melainkan karena konsep yang meluas dari apa artinya menjadi Manusia”<br />
(John Naisbitt) yang di bidang kesehatan menjadi Sumber Daya Manusia Kesehatan<br />
yang berkualitas.<br />
Mengacu kepada penjabaran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang<br />
Pemerintah Daerah, ditetapkan bahwa kesehatan merupakan bidang pemerintah<br />
yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan Kota. Hal ini perlu dipersiapkan<br />
dan secara optimal dilaksanakan agar seluruh potensi dari sektor-sektor-sektor<br />
pembangunan dapat memberi dampak terhadap derajat kesehatan masyarakat.<br />
Untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010, pembangunan kesehatan di daerah baik<br />
propinsi maupun Kabupaten / Kota ditujukan untuk menciptakan dan<br />
mempertahankan Propinsi, Kabupaten / Kota Sehat dengan menerapkan<br />
Pembangunan Berwawasan Kesehatan.<br />
Untuk mendukung pencapaian visi Indonesia Sehat 2010 tersebut diperlukan SDM<br />
Kesehatan yang bermutu dan merata.<br />
Dalam kaitan ini, kebijakan Pengembangan SDM Kesehatan yang ditetapkan Menteri<br />
Kesehatan Nomor : 850 Tahun 2000 menekankan pentingnya perencanaan SDM<br />
Kesehatan. Demikian pula rencana Strategi Badan PPSDMK menggaris bawahi peran<br />
yang penting dari perencanaan SDM Kesehatan.<br />
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 004/Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan<br />
Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan, disebutkan bahwa dalam memantapkan<br />
sistem manajemen SDK Kesehatan perlu dilakukan peningkatan dan pemantapan<br />
perencanaan, pengadaan tenaga kesehatan, pendayagunaan dan pemberdayaan<br />
profesi kesehatan.<br />
Pengelolaan SDM Kesehatan khususnya perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan<br />
selama ini masih bersifat administratif kepegawaian dan belum dikelola secara<br />
profesional, masih bersifat top down dari pusat, belum bottom up (dari bawah),<br />
belum sesuai kebutuhan organisasi dan kebutuhan nyata di lapangan, serta belum<br />
berorientasi pada jangka panjang.<br />
Diharapkan dalam menyusun perencanaan SDM sebaiknya ditetapkan terlebih<br />
dahulu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kesehatan di Propinsi, Kabupaten/<br />
Kota untuk mengantisipasi masalah-masalah kesehatan yang mungkin akan terjadi,<br />
karena SDM Kesehatan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pelayanan<br />
kesehatan.<br />
Pedoman ini diharapkan dapat pula melengkapi Kepmenkes No. 1457/ Menkes/ SK/<br />
X/2003 tanggal 10 Oktober 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang<br />
Kesehatan di Propinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit dalam menyusun<br />
perencanaan SDM Kesehatan secara menyeluruh (jangka pendek, menengah, dan<br />
panjang).<br />
I.2. Tujuan<br />
Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu Daerah dalam mewujudkan Rencana<br />
Penyediaan dan Kebutuhan SDM Kesehatan di daerahnya.<br />
Pedoman ini meliputi:<br />
1. Pedoman penyusunan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM di institusi<br />
pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas).<br />
2. Pedoman penyusunan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan di<br />
wilayah (Propinsi, Kabupaten/Kota).<br />
3. Pedoman penyusunan rencana kebutuhan SDM Kesehatan untuk Bencana.<br />
I.3. Pengertian<br />
1. SDM Kesehatan (Sumber Daya Manusia Kesehatan) adalah seseorang yang<br />
bekerja secara aktif di bidang kesehatan baik yang memiliki pendidikan formal<br />
kesehatan maupun tidak yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan<br />
dalam melakukan upaya kesehatan.<br />
2. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang<br />
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui<br />
pendidikan formal di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan<br />
kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.<br />
3. Kegiatan Standar adalah satu satuan waktu (atau angka) yang diperlukan<br />
untuk menyelesaikan kegiatan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan<br />
sesuai dengan standar profesinya.<br />
4. Standar Beban Kerja adalah banyaknya jenis pekerjaan yang dapat<br />
dilaksanakan oleh seseorang tenaga kesehatan profesional dalam satu tahun<br />
kerja sesuai dengan standar profesional dan telah memperhitungkan waktu<br />
libur, sakit, dll.<br />
5. Daftar Susunan Pegawai adalah jumlah pegawai yang tersusun dalam<br />
jabatan dan pangkat dam kurun waktu tertentu yang diperlukan oleh organisasi<br />
untuk melaksanakan fungsinya.<br />
6. Analisa Beban Kerja adalah upaya menghitung beban kerja pada satuan kerja<br />
dengan cara menjumlah semua beban kerja dan selanjutnya membagi dengan<br />
kapasitas kerja perorangan persatuan waktu.<br />
7. Beban Kerja adalah banyaknya jenis pekerjaan yang harus diselesaikan oleh<br />
tenaga kesehatan profesional dalam satu tahun dalam satu sarana pelayanan<br />
kesehatan.<br />
8. Sarana Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan<br />
upaya kesehatan.<br />
9. Perencanaan Skenario adalah suatu perencanaan yang dikaitkan dengan<br />
keadaan masa depan (jangka menengah/panjang) yang mungkin terjadi.<br />
10. WISN (Work Load Indicator Staff Need) adalah indikator yang<br />
menunjukkan besarnya kebutuhan tenaga pada sarana kesehatan berdasarkan<br />
beban kerja, sehingga alokasi/relokasi akan lebih mudah dan rasional.<br />
BAB II<br />
DASAR HUKUM DAN POKOK-POKOK<br />
PERENCANAAN SDM KESEHATAN<br />
II.1. Dasar Hukum<br />
Dasar hukum perencanaan SDM kesehatan adalah sebagai berikut :<br />
1. GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA TAHUN 1999 – 2004<br />
2. Ketetapan MPR no. 4 tahun 1999<br />
3. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara<br />
Tahun 1992 No. 100, Tambahan Lembaran Negara No. 3495);<br />
4. Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran<br />
Negara Tahun 1999 No. 60, Tambahan Lembaran Negara No. 3839);<br />
5. Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran<br />
Negara Tahun 1996 No. 49, tambahan Lembaran Negara No. 3637);<br />
6. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan<br />
Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom (Lembaran Negara Tahun 2000<br />
No.54, Tambahan Lembaran Negara No. 3952) ;<br />
7. Peraturan Pemerintah No.8 tentang Perangkat Daerah;<br />
8. Keputusan Menkes No. 850/MENKES/SK/V/2000 tentang Kebijakan<br />
Pengembangan Tenaga Kesehatan tahun 2000 – 2010;<br />
9. Keputusan Menkes No. 1277/MENKES/SK/XI/2001 tentang Organisasi dan Tata<br />
Kerja Departemen Kesehatan;<br />
10. Keputusan Menkes No. 004/MENKES/SK/I/2003 tahun 2003 tentang Kebijakan<br />
dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan;<br />
11. Keputusan Menkes No. 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang SPM bidang<br />
kesehatan di Kabupaten/Kota.<br />
II.2. Pokok-Pokok Perencanaan SDM Kesehatan<br />
Memperhatikan dasar-dasar hukum serta adanya kebijakan desentralisasi, termasuk<br />
didalamnya desentralisasi di bidang kesehatan, maka fungsi perencanaan SDM<br />
kesehatan bagi daerah menjadi sangat penting dan menjadi tanggung jawab daerah<br />
itu sendiri. Oleh karena itu dengan adanya desentralisasi di bidang kesehatan<br />
pejabat pengelola SDM di Kabupaten/Kota dan Propinsi perlu memiliki kemampuan<br />
atau kompetensi yang memadai dalam membuat perencanaan SDM kesehatan.<br />
Secara garis besar perencanaan kebutuhan SDM kesehatan dapat dikelompokkan ke<br />
dalam tiga kelompok besar yaitu :<br />
1. Perencanaan kebutuhan pada tingkat institusi.<br />
Perencanaan SDM kesehatan pada kelompok ini ditujukan pada perhitungan<br />
kebutuhan SDM kesehatan untuk memenuhi kebutuhan sarana pelayanan<br />
kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik dan lain-lainnya.<br />
2. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat wilayah<br />
Perencanaan disini dimaksudkan untuk menghitung kebutuhan SDM kesehatan<br />
berdasarkan kebutuhan di tingkat wilayah (Propinsi/Kabupaten/Kota) yang<br />
merupakan gabungan antara kebutuhan institusi dan organisasi.<br />
3. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan untuk Bencana.<br />
Percanaan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan SDM Kesehatan saat<br />
prabencana, terjadi bencana, dan post bencana, termasuk pengelolaan<br />
kesehatan pengungsi.<br />
Untuk itu pengelola kebutuhan SDM kesehatan yang bertanggung jawab pada<br />
ketiga kelompok tersebut di atas perlu memahami secara lebih rinci teknis<br />
perhitungannya untuk masing-masing kelompok.<br />
II.3. Strategi Perencanaan SDM Kesehatan<br />
Dalam perencanaan SDM Kesehatan perlu memperhatikan:<br />
1. Rencana kebutuhan SDM Kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan<br />
pembangunanan kesehatan baik kebutuhan lokal, nasional maupun global.<br />
2. Pendayagunaan SDM Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi,<br />
seimbang dan selaras oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha baik di<br />
tingkat pusat maupun tingkat daerah. Dalam upaya pemerataan SDM Kesehatan<br />
perlu memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban perorangan<br />
dengan kebutuhan masyarakat. Pendayagunaan SDM Kesehatan oleh<br />
pemerintah diselenggarakan melalui pendelegasian wewenang yang<br />
proporsional dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.<br />
3. Penyusunan perencanaan mendasarkan pada sasaran nasional upaya kesehatan<br />
dari Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010.<br />
4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM kesehatan di dasarkan pada<br />
kesesuaian metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.<br />
BAB III<br />
TINJAUAN PERKEMBANGAN, PENDEKATAN DAN METODE<br />
PENYUSUNAN KEBUTUHAN SDM KESEHATAN<br />
III.1. Perkembangan<br />
Pada tahun sembilan belas delapan puluhan, Departemen Kesehatan telah<br />
mengembangkan proyeksi kebutuhan SDM kesehatan sampai dengan tahun 2000<br />
sesuai dengan anjuran “Health for All by the Year 2000”. Proyeksi tersebut dibuat<br />
berdasarkan status kesehatan masyarakat dan proyeksi penduduk dikaitkan dengan<br />
program-program kesehatan yang ada. Proyeksi kebutuhan tenaga kesehatan<br />
secara Nasional tersebut kemudian telah diusahakan dirinci menjadi target-target<br />
lima tahunan (Repelita).<br />
Namun demikian target Repelita dibidang ketenagaan tersebut masih dirasa sulit<br />
memberikan gambaran informasi yang jelas mengenai cara penyusunan kebutuhan<br />
tenaga bagi unit pelayanan kesehatan. Keadaan ini menyebabkan unit-unit<br />
pelayanan (utamanya rumah sakit dan puskesmas) membentuk metode-metode<br />
standar ketenagaan dan cara menghitung kebutuhan masing-masing. Hal ini<br />
tercermin dengan dikeluarkannya antara lain :<br />
1) SK Menkes No. 262/Menkes/Per/VII/1979, tentang perhitungan kebutuhan<br />
tenaga berdasarkan perbandingan antara jumlah tempat tidur yang tersedia di<br />
kelas rumah sakit tertentu dengan jenis kategori tenaga tertentu.<br />
2) Standar kebutuhan tenaga minimal (pada tahun 1980), dasar perhitungannya<br />
adalah standar pelayanan dan upaya pelayanan.<br />
Pada perkembangan lebih lanjut, baik target Repelita maupun standar perhitungan<br />
kebutuhan tenaga yang ada untuk rumah sakit dan puskesmas masih belum<br />
dirasakan cocok dan belum dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebutuhan<br />
tenaga, karena :<br />
a) Tidak memberikan data yang lengkap tentang kebutuhan tenaga kesehatan per<br />
kategori tenaga .<br />
b) Tidak memperhitungkan beban kerja yang riil dan kapasitas masing-masing<br />
kategori tenaga.<br />
Pada tahun 1985 Biro Perencanaan Depkes mengembangkan metode ISN (Indicator<br />
of Staff Needs). Metode ISN menetapkan jumlah tenaga berdasarkan jenis kegiatan<br />
dan volume pelayanan pada suatu unit atau institusi.<br />
Formula ISN mencakup seluruh kategori tenaga kesehatan yang ada di berbagai<br />
sarana/institusi pelayanan kesehatan dalam lingkungan Depkes dan Daerah. Namun<br />
kedua metode tersebut belum optimal.<br />
Disamping itu sejak tahun 1998, juga mulai diperkenalkan penghitungan tenaga<br />
kesehatan dengan memperhitungkan beban kerja (serupa dengan ISN) yang disebut<br />
DSP (Daftar Susunan Pegawai) yang diperkenalkan oleh Menpan. Awal tahun 1999<br />
Departemen Kesehatan (cq. Biro Kepegawaian) mengembangkan DSP yang sesuai<br />
dengan kebutuhan sarana kesehatan. Tahun 1999 diterbitkan Keputusan Menteri<br />
Kesehatan Republik Indonesia No. 976 tahun 1999 tentang DSP Puskesmas , setelah<br />
itu DSP Rumah Sakit kelas D, kelas C, kelas B non pendidikan, disamping itu<br />
dikembangkan DSP Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sampai saat ini<br />
metode ini terus dikembangkan penerapannya terutama di Daerah HP-V (Jateng,<br />
Sulsel dan Kalteng).<br />
Dengan tidak dibakukannya metode penghitungan tenaga (ISN atau DSP) jangka<br />
pendek kepada unit/pengelola program seperti yang diharapkan, maka perencanaan<br />
kebutuhan tenaga kesehatan hanya menggunakan asumsi-asumsi berdasarkan<br />
kapasitas produksi maupun perhitungan lain yang kurang spesifik. Ditambah dengan<br />
kurang mantapnya sistem informasi ketenagaan baik di lingkungan Depkes, Pemda<br />
maupun Swasta, maka perencanaan kebutuhan tenaga khususnya jangka pendek<br />
praktis belum berkembang sesuai harapan kita semua.<br />
III.2. Masalah dan Hambatan<br />
Salah satu yang menentukan kualitas rencana kebutuhan SDM adalah dukungan<br />
informasi tenaga yang akurat. Sejak Repelita II banyak upaya (daya dan dana) yang<br />
telah dilakukan namun hasilnya belumlah memadai. Kunci permasalahannya terletak<br />
pada kesulitan mengembangkan database ketenagaan yang terpadu, yang<br />
disepakati dan dipakai bersama oleh setiap unit pengelola ketenagaan di Depkes<br />
serta saling mendukung/terkait antara satu dengan lainnya (compatible). Hal yang<br />
lain, data yang ada saat ini masih berorientasi pada tenaga Depkes (pemerintah),<br />
belum sampai pada upaya mengidentifikasi SDM kesehatan untuk keperluan swasta<br />
dan masyarakat lainnya.<br />
Dalam perkembangan selama ini ada beberapa hambatan, a.l. :<br />
1. Sulitnya memperoleh data akurat yang diperlukan untuk menghitung beban<br />
kerja dari masing-masing jenis kategori tenaga pada formula ISN. Hal ini<br />
disebabkan karena bervariasinya kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh<br />
masing-masing jenis kategori tenaga, disamping tidak adanya catatan yang<br />
terekam secara baik atas hal-hal yang terkait dengan prosedur dan beban kerja.<br />
2. Hasil kompilasi dan analisis penghitungan kebutuhan tenaga yang diadakan<br />
sepanjang tahun, tidak ditindak-lanjuti sehingga menimbulkan kekecewaan dan<br />
menurunnya motivasi para perencana ketenagaan di lapangan (misalnya, hasil<br />
penghitungan tenaga tidak terkait dengan pengadaan formasi pegawai baru<br />
yang diadakan setiap tahunnya, atau dengan diketahuinya jumlah tenaga<br />
berlebihan di suatu lokasi dan kekurangan di lain lokasi seharusnya ada tindaklanjut<br />
pemecahannya). Hal ini lama kelamaan menyebabkan pengisian form<br />
yang asal jadi dan menurunnya jumlah laporan yang masuk setiap triwulannya<br />
kepada unit atasannya.<br />
3. Kekurangan dukungan staf perencanaan ketenagaan yang berkualitas dan<br />
bekerja penuh waktu baik di pusat, propinsi, kabupaten, dan unit/fasilitas<br />
kesehatan.<br />
Untuk mendukung perencanaan kebutuhan SDM dimasa mendatang, maka sistem<br />
informasi tenaga kesehatan yang mantap sudah tidak bisa ditunda lagi.<br />
III.3. Isu Strategis<br />
1. Penyusunan rencana pengembangan tenaga kesehatan (termasuk penyusunan<br />
kebutuhan tenaga) tidak akan berhasil bila tidak disusun dalam konteks<br />
kebijakan pengembangan tenaga kesehatan secara keseluruhan yang<br />
menunjang suatu rencana pembangunan jangka panjang kesehatan yang<br />
ditetapkan.<br />
2. Penentuan pendekatan dan cara penyusunan kebutuhan tenaga kesehatan<br />
sering hanya mendasarkan pada suatu model saja, dan kurang mendasarkan<br />
pada sintesa bermacam model yang ada sehingga dapat dihimpun berbagai segi<br />
positifnya dan dihindari segi-segi kekurangannya.<br />
3. Sistem informasi ketenagaan yang baik dapat mendukung sepenuhnya<br />
pengembangan SDM kesehatan secara keseluruhan (PNS dan Non PNS).<br />
4. Masih terbatasnya pemahaman tentang pentingnya perencanaan SDM<br />
Kesehatan dari berbagai segi pendekatan, metode dan prosedur<br />
penyusunannya.<br />
BAB IV<br />
PENDEKATAN DAN METODE PENYUSUNAN RENCANA KEBUTUHAN<br />
SDM KESEHATAN<br />
IV.1. Pendekatan Penyusunan Kebutuhan SDM Kesehatan<br />
Yang menjadi perhatian dalam penyusunan Kebutuhan SDM Kesehatan adalah<br />
sebagai berikut :<br />
a. Penyusunan kebutuhan SDM kesehatan mutlak dalam konteks penyusunan<br />
pengembangan SDM kesehatan yang ada untuk mewujudkan suatu tujuan<br />
pembangunan yang ditetapkan.<br />
b. Pentingnya untuk ditetapkan suatu cara penyusunan kebutuhan SDM yang<br />
benar-benar sesuai dengan keperluannya yang semakin kompleks dan sering<br />
tak menentu.<br />
c. Pengguna dari cara-cara penyusunan SDM kesehatan ini perlu memahami<br />
kekuatan dan kelemahan dari cara yang dipilih.<br />
d. Sektor kesehatan sangat diharapkan oleh sektor lain yang terkait untuk dapat<br />
menyusun kebutuhan SDM kesehatan di masa mendatang dengan<br />
menggunakan cara-cara penyusunan kebutuhan SDM yang mantap.<br />
IV.2. Metode Penyusunan Kebutuhan SDM Kesehatan<br />
Pada dasarnya kebutuhan SDM kesehatan dapat ditentukan berdasarkan :<br />
1. Kebutuhan epidemiologi penyakit utama masyarakat.<br />
2. Permintaan (demand) akibat beban pelayanan kesehatan; atau<br />
3. Sarana upaya kesehatan yang ditetapkan.<br />
4. Standar atau ratio terhadap nilai tertentu.<br />
Determinan yang berpengaruh dalam perencanaan kebutuhan SDM adalah:<br />
a. Perkembangan penduduk, baik jumlah, pola penyakit, daya beli, maupun<br />
keadaan sosiobudaya dan keadaan darurat / bencana<br />
b. Pertumbuhan ekonomi; dan<br />
c. Berbagai kebijakan di bidang pelayanan kesehatan.<br />
Adapun metode-metodenya adalah sebagai berikut :<br />
1. Penyusunan kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan keperluan kesehatan<br />
(“Health Need Method”). Dalam cara ini dimulai dengan ditetapkannya<br />
keperluan (“need”) menurut golongan umur, jenis kelamin, dllnya. Selanjutnya<br />
dibuat proyeksi penduduk untuk tahun sasaran menurut kelompok penduduk<br />
yang ditetapkan; diperhitungkan keperluan upaya kesehatan untuk tiap-tiap<br />
kelompok penduduk pada tahun sasaran.<br />
Contoh :<br />
• Dengan sasaran untuk mengurangi tingkat kesakitan dan kematian sampai<br />
taraf tertentu, diperhitungkan keluarga dengan pendapatan lebih tinggi di<br />
satu kota besar, umur 15-25 tahun, menggunakan (atau ingin) 1.8<br />
kunjungan dokter pertahun sementara itu keluarga dengan pendapatan lebih<br />
rendah ingin menggunakan 0.7 kunjungan.<br />
• Proyeksi tahun target penduduk untuk kedua grup populasi adalah 200,000<br />
dan 800,000.<br />
• Kebutuhan kunjungan untuk keluarga yang lebih tinggi pendapatannya<br />
adalah 1.8 x 200,000 = 360,000 kunjungan, sedangkan untuk keluarga lebih<br />
rendah pendapatannya, adalah 0.7 x 800,000 = 560,000 kunjungan<br />
• Rata-rata dokter bekerja penuh waktu dalam pelayanan rawat jalan adalah<br />
7000 kunjungan per tahun.<br />
• Target kunjungan pertahun adalah (360,000 + 560,000) : 7000 = 131<br />
dokter FTE (Full Time Equivalent / dokter bekerja dengan penuh waktu).<br />
2. Penyusunan kebutuhan tenaga kesehatan berdasarkan kebutuhan kesehatan<br />
(“Health Services Demand Method”). Dalam cara ini dimulai dengan<br />
ditetapkannya kebutuhan (“demand”) upaya atau pelayanan kesehatan untuk<br />
kelompok-kelompok penduduk menurut golongan umur, jenis kelamin, tingkat<br />
ekonomi, pendidikan, lokasi dllnya. Selanjutnya dibuat proyeksi penduduk untuk<br />
tahun sasaran menurut kelompok penduduk yang ditetapkan; diperhitungkan<br />
kebutuhan pelayanan kesehatan untuk tiap-tiap kelompok penduduk tersebut<br />
pada tahun sasaran. Selanjutnya untuk memperoleh perkiraan kebutuhan<br />
jumlah dari jenis tenaga kesehatan tersebut diperoleh dengan membagi jumlah<br />
keseluruhan pelayanan kesehatan pada tahun sasaran dengan kemampuan jenis<br />
tenaga tersebut untuk melaksanakan pelayanan kesehatan termaksud pada<br />
tahun sasaran.<br />
Contoh :<br />
• Dengan sasaran untuk memenuhi kebutuhan kesehatan pada suatu kota<br />
diperhitungkan anak umur 0-4 tahun memerlukan rata-rata 1.0 kunjungan<br />
dokter dan 2.0 kunjungan perawat per tahun.<br />
• Proyeksi pada tahun target anak umur 0-4 tahun adalah 2.0 juta.<br />
• Anak-anak ini kemudian akan memerlukan kunjungan 2 juta dokter dan 4<br />
juta kunjungan rawat.<br />
• Dokter FTE (penuh waktu) dapat melakukan 6000 kunjungan per tahun dan<br />
FTE perawat, 7000 per tahun.<br />
• Proyeksi tenaga penuh waktu (FTE) yang diperlukan :<br />
- dokter FTE = 2.0 juta : 6000 = 333 dokter<br />
- perawat FTE = 4.0 juta : 7000 = 571 perawat.<br />
3. Penyusunan kebutuhan tenaga kesehatan berdasarkan sasaran upaya<br />
kesehatan yang ditetapkan (“Health Service Targets Method”). Dalam<br />
cara ini dimulai dengan menetapkan berbagai sasaran upaya atau memperoleh<br />
perkiraan kebutuhan jumlah dari jenis tenaga kesehatan tertentu diperoleh<br />
dengan membagi keseluruhan upaya atau pelayanan kesehatan tahun sasaran<br />
dengan kemampuan jenis tenaga tersebut untuk melaksanakan upaya atau<br />
pelayanan kesehatan termaksud pada tahun sasaran.<br />
Contoh :<br />
1) Program<br />
2) Tujuan Program<br />
:<br />
:<br />
Pelayanan kesehatan puskesmas<br />
Meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan<br />
kesehatan puskesmas dengan peran aktif<br />
masyarakat.<br />
3) Sasaran dari Strategi Program :<br />
Sasaran No. 1<br />
Strategi dasar<br />
:<br />
:<br />
Angka kematian bayi diturunkan menjadi 40/1000<br />
kelahiran hidup.<br />
Pelayanan antenatal kepada ibu hamil.<br />
Lain-lain sasaran dan strategi dasar perhitungannya juga diperlukan.<br />
Terhadap sasaran No. 1 dapat dikemukakan :<br />
4) Kegiatan kritis/pokok<br />
5) Satuan yang membutuhkan<br />
6) Kebutuhan di masa mendatang<br />
7) Frekwensi kegiatan kritis<br />
8) Beban kerja yang diperlukan<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
Konsultasi ibu hamil<br />
Ibu hamil<br />
Jumlah ibu hamil pada tahun 2010<br />
3 kali untuk kehamilan normal<br />
Butir 6x butir 7x waktu menolong<br />
9) Tenaga Kesehatan pelaksana<br />
10) Waktu untuk Melaksanakan<br />
Kegiatan kritis<br />
:<br />
:<br />
Bidan<br />
Waktu dalam menit untuk<br />
melaksanakan konsultasi.<br />
11) Penggunaan Waktu Tenaga Kesehatan di masa mendatang<br />
Pembagian waktu (%) dalam hari-hari normal :<br />
a) Melaksanakan kegiatan kritis<br />
b) Melaksanakan kegiatan lain<br />
c) Menunggu/kegiatan pribadi<br />
:::<br />
0,33<br />
0,25<br />
0,42<br />
12) Beban kerja yang dapat tersedia<br />
per hari<br />
13) Hari kerja di masa mendatang<br />
per tahun latihan dan lain-lain<br />
14) Beban kerja yang dapat tersedia<br />
per tahun<br />
15) Jumlah tenaga kesehatan yang<br />
diperlukan pada tahun 2010<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
Jumlah jam kerja di masa<br />
mendatang dalam 1 hari x 60 x butir<br />
11<br />
280 dengan telah dikurangi karena<br />
sakit.<br />
Butir 12 x butir 13<br />
Butir 8 dibagi butir 14<br />
4. Penyusunan kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan rasio terhadap<br />
sesuatu Nilai (“Ratio Method”).<br />
Pertama-tama ditentukan atau diperkirakan rasio dari tenaga terhadap suatu<br />
nilai tertentu misalnya jumlah penduduk, tempat tidur RS, Puskesmas dan lainlainnya.<br />
Selanjutnya nilai tersebut diproyeksikan ke dalam sasaran. Perkiraan<br />
kebutuhan jumlah dari jenis tenaga kesehatan tertentu diperoleh dari membagi<br />
nilai yang diproyeksikan termasuk dengan rasio yang ditentukan.<br />
Contoh :<br />
• Rasio dokter – penduduk/populasi bervariasi dalam suatu provinsi, mulai<br />
dari 1 : 5000 sampai 1 : 2500, atau rata-rata 1 : 4000<br />
- proyeksi penduduk / populasi pada tahun target adalah 10 juta<br />
- rasio pada tahun target yang diinginkan sebesar 1 : 2500<br />
- dokter yang diperlukan adalah = 10.000.000 : 2500 = 4000 dokter.<br />
Selain 4 Metode Dasar tersebut, terdapat beberapa metode lainnya yang pada<br />
dasarnya merupakan pengembangan dari keempat metode dasar tersebut diatas<br />
yaitu :<br />
• Penyusunan kebutuhan tenaga berdasarkan Daftar Susunan Pegawai<br />
(DSP) (“authorized staffing list”).<br />
• Penyusunan kebutuhan tenaga berdasarkan WISN (Work Load Indikator<br />
Staf Need / Indikator KebutuhanTenaga Berdasarkan Beban Kerja).<br />
• Penyusunan kebutuhan tenaga berdasarkan SKENARIO/PROYEKSI dari<br />
WHO.<br />
• Penyusunan kebutuhan tenaga untuk Bencana.<br />
BAB V<br />
LANGKAH POKOK PENYUSUNAN KEBIJAKAN DAN RENCANA<br />
PENGEMBANGAN SDM KESEHATAN<br />
Penyusunan rencana pengembangan SDM kesehatan, guna mempermudah dalam<br />
pelaksanaannya, langkah-langkah yang harus dilalui adalah seperti dalam bagan<br />
berikut:<br />
LP = Langkah Pokok<br />
LANGKAH-LANGKAH POKOK PENYUSUNAN<br />
LP.1.PERSIAPAN<br />
Input<br />
• Kumpulan dokumen – dokumen kebijakan<br />
• Kumpulan data dan informasi terkait baik pemerintah maupun masyarakat termasuk<br />
swasta<br />
Proses<br />
• Kesepakatan dan persamaan persepsi lintas program dan lintas sektor terkait<br />
(pemerintah, swasta, organisasi profesi ) melalui pertemuan-pertemuan.<br />
KEBIJAKAN & RENC<br />
PEMB.DAERAH,<br />
PENGEMB SDM &<br />
PEMB.KES.DAERAH<br />
MASUKAN<br />
LAIN<br />
TERKAIT<br />
ANALISA<br />
SITUASI<br />
PEMB.KES<br />
&<br />
PSDM<br />
PENYUSUNAN<br />
POKOK-POKOK<br />
RPJPK<br />
PENYUSUNAN<br />
USULAN<br />
KEBUTUHAN<br />
SDM<br />
PENYUSUNAN<br />
SKENARIO<br />
SDM<br />
PENYUS<br />
KEBIJAKAN<br />
SDMK<br />
PENYUSUNAN<br />
AKHIR DAN<br />
RENCANA PP<br />
SDM DAERAH<br />
KEBIJAKAN& RENC<br />
PENGEMBANGAN<br />
SDM NASIONAL<br />
PERSIAPAN<br />
ANALISA<br />
SITUASI<br />
&<br />
KECEND<br />
PENGADAAN<br />
SDMKES<br />
ANSIT<br />
&<br />
KECEND<br />
PENDAYA<br />
GUNAAN<br />
SDMKES<br />
PENYUS<br />
RENCANA<br />
SDMK<br />
PENGAWASAN, PENGENDA<br />
LIAN DAN PENILAIAN PSDM<br />
PELAKSANAAN PENGEM<br />
BANGAN SDM KES<br />
LANGKAH POKOK PENYUSUNAN KEBIJAKAN DAN RENCANA<br />
PENGEMBANGAN SDM KESEHATAN DAERAH<br />
LP.1 LP.2<br />
LP 3 LP 4<br />
LP 5 LP 6<br />
LP 7<br />
LP 8<br />
LP 9<br />
LP 10<br />
Output<br />
• Kerangka acuan bersama<br />
• Membentuk Tim yang terdiri dari Depkes, Depdiknas, swasta, organisasi profesi,<br />
Pemda Propinsi/Kabupaten/Kota, DPR, DPRD.<br />
LP.2.ANALISA SITUASI PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN PENGEMBANGAN<br />
SDM KESEHATAN DAERAH<br />
Input<br />
• Analisa situasi pembangunan kesehatan daerah (sosial, ekonomi, perundangan)<br />
• Analisa situasi pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatah daerah<br />
Proses<br />
• Diadakan analisa kesenjangan dan bila mungkin membuat analisa S.W.O.T<br />
• Konsultasi dengan sektor dan program lain terkait<br />
Output<br />
• Gambaran situasi pembangunan kesehatan daerah dan kecenderungannya<br />
• Gambaran situasi pengembangan SDM Kesehatan daerah dan kecenderungannya<br />
LP.3. PENYUSUNAN POKOK-POKOK/ PRIORITAS RENCANA PEMBANGUNAN<br />
JANGKA PANJANG KESEHATAN<br />
Input<br />
• Renstra daerah yang sudah ditetapkan<br />
• Hasil analisa pada LP 2<br />
• Arahan pimpinan Bupati/Walikota/Kepala Dinas Kesehatan<br />
Proses<br />
• Tim menyusun rancangan ini<br />
Output<br />
• Pokok-pokok rencana pembangunan jangka panjang daerah<br />
LP.4. PENYUSUNAN USULAN KEBUTUHAN SDM KESEHATAN<br />
Input<br />
• Hasil LP 3<br />
• Pemahaman mengenai pendekatan, metode dan prosedur penyusunan rencana SDM<br />
Kesehatan<br />
• Data dan informasi lain terkait.<br />
Proses<br />
• Pemilihan dan penggunaan metode yg tepat<br />
• Pendekatan ini sangat penting dan sering tidak mudah<br />
Output<br />
• Usulan kebutuhan SDM Kesehatan yang diperlukan untuk menunjang pembangunan<br />
kesehatan yang ditetapkan<br />
LP.5. ANALISA SITUASI & KECENDERUNGAN PENGADAAN SDM KESEHATAN<br />
Input<br />
• Hasil LP 2 (rencana pembangunan kesehatan jangka panjang)<br />
Proses<br />
• Tinjauan ini disusun berdasarkan pada kenyataan sesungguhnya di lapangan<br />
• Konsultasi dengan berbagai sektor lain terutama sektor pendidikan<br />
Output<br />
• Tinjauan perkembangan dan kecendenderungan pengadaan SDM Kesehatan meliputi<br />
mutu, kemampuan institusi pendidikan dan latihan, sinergi pengadaan SDM<br />
Kesehatan.<br />
LP.6. ANALISA SITUASI & KECENDERUNGAN PENDAYAGUNAAN SDM<br />
KESEHATAN<br />
Input<br />
• LP2 (rencana pembangunan kesehatan jangka panjang)<br />
• Bahan dari sektor lain (pendidikan)<br />
Proses<br />
• Tim membicarakan dg profesi dan sektor lain terkait<br />
Output<br />
• Tinjauan perkembangan dan kecenderungan pendayagunaan SDM Kesehatan<br />
terutama tentang distribusinya, peningkatan karir, legislasi, pembinaan dan<br />
pengawasan SDM Kesehatan<br />
LP.7. PENYUSUNAN SKENARIO / ALTERNATIF PENGEMBANGAN SDM<br />
KESEHATAN<br />
Input<br />
• LP 4,5,6 (usulan kebutuhan, pemenuhannya, pendayagunaannya)<br />
Proses<br />
• Analisa dan penyusunan kebutuhan SDM Kesehatan berdasarkan pada prinsip-prinsip<br />
perencanaan skenario/alternatif<br />
Output<br />
• Usulan kebutuhan SDM Kesehatan yang diperlukan dan dapat disediakan<br />
• Diperolehnya alternatif terpilih yang optimal dari kebutuhan SDM Kesehatan untuk<br />
menunjang pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan<br />
LP.8. PENYUSUNAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SDM KESEHATAN<br />
Input<br />
• Hasil LP 7<br />
• Arahan dari Pimpinan Gubernur/Bupati/Walikota dan Kepala Dinas Kesehatan<br />
Proses<br />
• Merupakan kelanjutan dari LP 7<br />
Output<br />
• Kebijakan pengembangan SDM Kesehatan sebagai bagian dari kebijakan<br />
pembangunan kesehatan daerah<br />
LP.9. PENYUSUNAN RENCANA PENGEMBANGAN & PEMBERDAYAAN SDM<br />
KESEHATAN<br />
Input<br />
• Hasil LP 7,8<br />
• Arahan dari Pimpinan Gubernur/Bupati/Walikota dan Kepala Dinas Kesehatan.<br />
Proses<br />
• Menyusun rencana yang meliputi rencana kebutuhan SDM Kesehatan, rencana<br />
pengadaan dan pendayagunaan, bimbingan dan pengawasan SDM Kesehatan dengan<br />
peran aktif dari pimpinan program terkait<br />
• Menyusun langkah pengorganisasian dalam rangka pelaksanaannya<br />
Output<br />
• Kebijakan pengembangan & pemberdayaan SDM Kesehatan sebagai bagian dari<br />
kebijakan pembangunan kesehatan daerah<br />
LP.10. PENYUSUNAN AKHIR DAN RENCANA PENGEMBANGAN DAN<br />
PEMBERDAYAAN SDM KESEHATAN DAERAH<br />
Input<br />
• Arahan dari pimpinan daerah<br />
Proses<br />
• Pada hakekatnya menggabungkan LP 8 dan 9<br />
• Perlu diperhatikan relevansi, kelayakan, efisiensi dari pengembangan dan<br />
pemberdayaan daerah secara keseluruhan<br />
Output<br />
• Kebijakan dan rencana pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan<br />
Rincian lebih lanjut tentang langkah-langkah pokok penyusunan ini harap lihat<br />
kepustakaan no.53.<br />
BAB VI<br />
PROSEDUR PENYUSUNAN RENCANA KEBUTUHAN<br />
SDM KESEHATAN<br />
Secara garis besar perencanaan kebutuhan SDM kesehatan dapat dikelompokkan ke<br />
dalam tiga kelompok besar yaitu :<br />
1. Perencanaan kebutuhan pada tingkat institusi.<br />
Perencanaan SDM kesehatan pada kelompok ini ditujukan pada perhitungan<br />
kebutuhan SDM kesehatan untuk memenuhi kebutuhan sarana pelayanan kesehatan<br />
seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik dll.nya.<br />
2. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat wilayah<br />
Perencanaan disini dimaksudkan untuk menghitung kebutuhan SDM kesehatan<br />
berdasarkan kebutuhan wilayah (Nasional, Propinsi, atau Kabupaten/Kota) yang<br />
merupakan gabungan antara kebutuhan institusi dan organisasi.<br />
3. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan untuk Bencana<br />
Perencanaan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan SDM Kesehatan saat<br />
prabencana, terjadi bencana dan post bencana, termasuk pengelolaan kesehatan<br />
pengungsi.<br />
VI.1 PERENCANAAN KEBUTUHAN SDM KESEHATAN DI TINGKAT INSTITUSI<br />
Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi ini bisa dihitung<br />
dengan menggunakan metode Daftar Susunan Pegawai (DSP) (“Authorized Staffing<br />
List”), atau WISN ( Work Load Indikator Staff Need ).<br />
VI.1.a Prosedur penghitungan kebutuhan SDM kesehatan dengan<br />
menggunakan metode Daftar Susunan Pegawai (DSP) (“Authorized<br />
Staffing List”)<br />
Metode perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan DSP ini bisa digunakan di<br />
berbagai unit kerja seperti puskesmas, rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya.<br />
Sebagai contoh, berikut ini adalah penghitungan kebutuhan SDM berdasarkan DSP di<br />
Puskesmas.<br />
LANGKAH AWAL PENYUSUNAN DSP PUSKESMAS<br />
Langkah awal penyusunan DSP adalah menghitung produktivitas Puskesmas secara<br />
kolektif dengan menggunakan rumus<br />
O<br />
S = 300 x N ( Nilai S serendah-rendahnya 5 )<br />
S : Dayaguna Staf / Hari (S)<br />
N : Jumlah Staf (N)<br />
O : Out Put Puskesmas (O)<br />
Nilai Daya guna staf per hari ( S ) sekurang-kurangnya harus = 5.<br />
Apabila S < 5 maka dua alternatif yang perlu ditempuh :
1. memindahkan tenaga yang berlebihan atau
2. meningkatkan output Puskesmas.
Bagi Puskesmas yang jumlah kunjungannya tinggi, tetapi jumlah tenaganya lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah tenaga yang tertera dalam tabel.1, apabila tidak dapat
diangkat sebagai PNS Daerah, dapat diatasi kekurangan tenaganya dengan sistim
kontrak yang dananya berasal dari Pemda setempat atau oleh lembaga lainnya.
Tabel VI.1. Jumlah staf Puskesmas menurut Beban Kerja.
No Out Put Puskesmas (O) Jumlah Staf (N) Dayaguna
Staf/Hari (S)
1 Kurang dari 30.000 orang/thn 16 orang 6,25
2 30.000 – 50.000 orang/thn 21 orang 5,2 – 8,0
3 50.000 – 70.000 orang/thn 30 orang 5,5 – 7,7
4 70.000 – 100.000 orang/thn 40 orang 5,8 – 8,3
5 > 100.000 orang/thn > 40 orang 6,6<br />
Menghitung kebutuhan SDM dapat dilaksanakan dengan :<br />
1. Menghitung output Puskesmas seperti pada tabel IV.1. dimana output Puskesmas<br />
menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan, atau<br />
2. Mempergunakan time study untuk menghitung kapasitas kerja maupun uraian tugas<br />
Staf Puskesmas.<br />
Kebutuhan tenaga dapat dihitung dengan rumus :<br />
n = N x K<br />
T<br />
n : jumlah SDM yang dibutuhkan<br />
N : jumlah beban kerja<br />
K : Kapasitas kerja / menit<br />
T : jumlah kerja per hari = 360 menit = 6 X 60 menit<br />
3. Setelah mengetahui jumlah kebutuhan tenaga yang rasional, maka langkah<br />
berikutnya adalah menentukan jenis tenaga yang dibutuhkan. Untuk menetapkan<br />
jenis tenaga, kita menggunakan struktur organisasi Puskesmas sesuai yang<br />
ditetapkan Pemda masing-masing. (Berdasarkan SK Mendagri No. 23 tahun 1994,<br />
Struktur terdiri dari unit administrasi, unit 1 sampai dengan unit 6. Setiap unit<br />
merupakan kelompok kegiatan yang harus dianalisis secara rinci. Misalnya unit<br />
administrasi terdiri dari jabatan Kepala Tata Usaha, Statistik, Bendahara, Supir,<br />
Penjaga Puskesmas. Masing-masing jabatan mempersyaratkan jenis tenaga<br />
tertentu, misalnya jabatan bendahara harus dijabat oleh petugas yang minimal<br />
berijasah SMEA / SMTA dan telah mengikuti kursus bendaharawan).<br />
Perkiraan jenis tenaga pada jabatan-jabatan teknis tidak sulit, karena masingmasing<br />
jabatan mempersyaratkan tenaga yang memiliki ketrampilan tertentu.<br />
Pendidikan tenaga-tenaga teknis kesehatan yang siap pakai mewajibkan<br />
penempatannya pada jabatan teknis yang tepat. Hal ini memudahkan pengelola<br />
kepegawaian untuk menentukan jenis tenaga yang layak untuk ditempatkan pada<br />
jabatan dimaksud.<br />
Contoh, unit peningkatan dan kesehatan keluarga apabila diperinci antara lain<br />
terdiri dari kegiatan KIA, KB, Kesehatan Gigi Keluarga, sehingga dapat diperkirakan<br />
unit bersangkutan membutuhkan tenaga bidan, ahli gizi.<br />
Berikut ini adalah contoh DSP puskesmas dengan bermacam-macam model:<br />
1. Model Puskesmas yang berada di daerah terpencil dengan penduduk jarang, dengan<br />
kegiatan rendah<br />
2. Model Puskesmas dengan penduduk 20.000 dengan output Puskesmas pertahun =<br />
35.000<br />
3. Model Puskesmas di daerah perkotaan dengan penduduk padat, dengan output<br />
Puskesmas per tahun 60.000<br />
4. Model Puskesmas perawatan yang jauh hubungan daratnya dengan RSU terdekat<br />
5. Model Puskesmas Perawatan di daerah kepulauan dengan sarana perhubungan laut<br />
yang sulit.<br />
6. Model Puskesmas Perawatan di daerah strategis.<br />
CONTOH-CONTOH MODEL<br />
1. MODEL PUSKESMAS DI DAERAH TERPENCIL<br />
Puskesmas di daerah terpencil mempunyai masalah kondisi geografis dan<br />
transportasi yang sulit, penduduk yang jarang dan pelayan yang kurang kebutuhan<br />
tenaga sekitar 17 orang.<br />
Tabel. IV.2<br />
No<br />
Jenis Kegiatan<br />
Jenis Tenaga<br />
Jumlah<br />
Keterangan<br />
1 Kepala Puskesmas Dokter / Sarjana<br />
kesehatan lain yang<br />
terdidik dalam public<br />
health<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Kepala Tata Usaha<br />
R/R, Perencana, Ev<br />
Bendahara & Ur. Umum<br />
Supir<br />
Penjaga Puskesmas/Pramu<br />
Perawat<br />
Perawat<br />
SMEA / SMA<br />
SMTP<br />
SD<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Tenaga-tenaga<br />
Ketata-usahaan<br />
(administrasi)<br />
7<br />
8<br />
9<br />
Poliklinik Gigi<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Umum<br />
Perawat Gigi<br />
Perawat<br />
Pekarya<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 3<br />
10<br />
11<br />
12<br />
KIA., KB<br />
Perkesmas<br />
Gizi Keluarga<br />
Bidan<br />
Bidan<br />
PAG<br />
1<br />
-<br />
1<br />
Unit 2<br />
Tugas rangkap<br />
13<br />
14<br />
Imunisasi dan Pencegahan<br />
Surveillance & Kesling<br />
Perawat<br />
Sanitarian<br />
1<br />
1<br />
Unit 1 & Unit 4<br />
15<br />
16<br />
17<br />
Laboratorium<br />
Apotik<br />
JPKM<br />
Analis<br />
Pekarya<br />
Perawat / D3 Askes<br />
1<br />
1<br />
-<br />
Unit 6<br />
Perawat terlatih<br />
bekerja<br />
rangkap<br />
18<br />
19<br />
Setiap Pustu<br />
Setiap Bidan Desa<br />
Perawat<br />
Bidan<br />
1<br />
1<br />
JUMLAH 17 *)<br />
*) Jumlah 17 orang adalah jumlah tenaga yang terkecil dengan Pustu dan Bidan Desa<br />
rata-rata sebuah, jumlah ini akan meningkat dengan bertambah banyaknya jumlah<br />
Pustu atau Bidan Desa.<br />
Catatan :<br />
Kegiatan Pusling, Posyandu dan kegiatan lapangan lain dilaksanakan secara terpadu<br />
dalam Tim.<br />
2. MODEL DSP PUSKESMAS PEDESAAN<br />
Puskesmas terletak dalam Kecamatan dengan penduduk 20.000 orang dengan<br />
output Puskesmas 35.000 orang per tahun. Apabila produktivitas staf / hari = 5,<br />
maka tenaga yang dibutuhkan atau N = 35.000 / 300 x 5 = 23 orang.<br />
Tabel. VI.3<br />
No<br />
Jenis Kegiatan<br />
Jenis Tenaga<br />
Jumlah<br />
Keterangan<br />
1 Kepala Puskesmas Dokter / Sarjana<br />
kesehatan lain yang<br />
terdidik dalam<br />
public health<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Kepala Tata Usaha<br />
RR/ Perencana/ Ev<br />
Bendahara & Ur. Umum<br />
Supir<br />
Penjaga Puskesmas/Pramu<br />
SKM<br />
Perawat<br />
SMEA / SMA<br />
SMTP<br />
SD<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit Tata Usaha<br />
( Administrasi )<br />
7<br />
8<br />
9<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Umum<br />
Dokter Umum<br />
Perawat<br />
Pekarya<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Dirangkap<br />
ka.Puskesmas<br />
10<br />
11<br />
12<br />
Poliklinik Gigi<br />
Poliklinik Gigi<br />
Bagian Kartu<br />
Dokter Gigi<br />
Perawat Gigi<br />
Pekarya<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 3<br />
13<br />
14<br />
KIA & KB<br />
Kesehatan. Gizi Keluarga<br />
Bidan<br />
Akademi Gizi<br />
1<br />
1<br />
Unit 2<br />
15<br />
16<br />
17<br />
Puskesmas<br />
Peran serta Masyakat<br />
Kesling dan Penyuluhan<br />
Bidan<br />
Bidan<br />
Sanitarian<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 4<br />
18<br />
19<br />
Laboratorium<br />
Apotik<br />
Analis Kimia<br />
Ass. Apoteker<br />
1<br />
1<br />
Unit 6<br />
20<br />
21<br />
Surveillance<br />
Pencegahan & Pemb.<br />
Imunisasi<br />
Sanitarian<br />
Perawat<br />
Perawat<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 1<br />
22<br />
23<br />
UKGS<br />
UKS<br />
JPKM<br />
Drg & Perawat Gigi<br />
Perawat<br />
Perawat / D3 Askes<br />
-<br />
-<br />
1<br />
Tugas rangkap<br />
Perawat terlatih<br />
24<br />
25<br />
Setiap Pustu<br />
Setiap Bidan Desa<br />
Perawat<br />
Bidan<br />
1<br />
1<br />
J U ML A H<br />
23 *)<br />
Catatan :<br />
Kegiatan Puskesmas, Pusling, Posyandu dan kegiatan lapangan kerja dilaksanakan<br />
secara terpadu dalam Tim.<br />
3. MODEL DSP PUSKESMAS PERKOTAAN<br />
Puskesmas terletak dikota dengan penduduk agak padat dan kunjungan cukup<br />
tinggi dengan output Puskesmas 60.000 orang / tahun. Apabila produktivitas staf /<br />
hari = 5, maka tenaga yang dibutuhkan atau N berjumlah = 40 orang.<br />
Tabel. VI.4<br />
No<br />
Jenis Kegiatan<br />
Jenis Tenaga<br />
Jumlah<br />
Keterangan<br />
1 Kepala Puskesmas Dokter / Sarjana<br />
kesehatan lain yang<br />
terdidik dalam Public<br />
Health<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Kepala Tata Usaha<br />
R/R, Perencana, Ev<br />
Bendahara & Ur. Umum<br />
Supir<br />
Penjaga Puskesmas/Pramu<br />
SKM<br />
D2 / D3 Statistik<br />
SMEA / SMA<br />
SMTP<br />
SD<br />
1<br />
1<br />
2<br />
2<br />
1<br />
Unit Tata Usaha<br />
( Administrasi )<br />
7<br />
8<br />
9<br />
Bagian Kartu Poli<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Umum<br />
Pekarya<br />
Dokter Umum<br />
Perawat<br />
1<br />
2<br />
1<br />
Khusus bekerja<br />
di Poliklinik<br />
membantu<br />
10<br />
11<br />
12<br />
Poliklinik Umum<br />
Kamar Suntik<br />
Unit Gawat Darurat<br />
Pekarya<br />
Perawat<br />
Perawat<br />
1<br />
1<br />
4<br />
Pemeriksa dokter<br />
Bagian<br />
Anamnese<br />
13<br />
14<br />
Poliklinik Gigi<br />
Poliklinik Gigi<br />
Dokter Gigi<br />
Perawat Gigi<br />
1<br />
1<br />
Unit 3<br />
15<br />
16<br />
17<br />
KIA & KB<br />
KIA & KB<br />
Kesehatan. Gizi Keluarga<br />
Bidan<br />
Pekarya<br />
Akademi Gizi<br />
2<br />
1<br />
1<br />
Unit 2<br />
18<br />
19<br />
UKGS<br />
UKS<br />
Dokter Gigi<br />
Perawat<br />
-<br />
1<br />
Tugas rangkap<br />
20<br />
21<br />
Puskesmas<br />
Radiologi<br />
Bidan<br />
APRO<br />
1<br />
1<br />
22<br />
23<br />
24<br />
Laboratorium<br />
Apotik<br />
Apotik<br />
Analis kimia<br />
Ass. Apoteker<br />
Juru Obat<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 6<br />
25<br />
26<br />
27<br />
Pencegahan & Pemb. Peny.<br />
Surveilllance<br />
Imunisasi<br />
Entomolog<br />
Epidemolog<br />
Perawat<br />
1<br />
1<br />
2<br />
Unit 1<br />
28<br />
29<br />
PSM<br />
Kesling & Penyuluh<br />
Bidan<br />
Sanitarian<br />
1<br />
2<br />
Unit 4<br />
30 JPKM D3 Ekonomi /<br />
D3 Askes<br />
1 Terlatih JPKM<br />
31 Pustu Perawat 2<br />
JUMLAH 40<br />
Dikota tidak ada Bidan di Desa<br />
Catatan :<br />
Kegiatan Puskesmas, Posyandu dan kegiatan lapangan lain dilaksanakan secara<br />
terpadu dalam tim.<br />
4. DSP PUSKESMAS PERAWATAN DI DAERAH TERPENCIL<br />
Daerah terpencil ditandai dengan sulitnya hubungan geografi yang mengakibatkan<br />
masyarakat sulit menjangkau puskesmas demikian juga rujukan ke Rumah Sakit terdekat.<br />
Bagi kasus-kasus muntaber terpaksa harus dirawat di Puskesmas. Untuk itu Puskesmas<br />
dilengkapi dengan sarana tempat tidur yang jumlahnya rata-rata 10 buah. Dengan demikian<br />
kebutuhan tenaganya terdiri dari kebutuhan tenaga untuk rawat jalan ditambah dengan<br />
pelayanan diluar gedung serta kebutuhan tenaga untuk rawat inap.<br />
Tabel VI.5<br />
Catatan :<br />
Kegiatan Puskesmas, Posyandu dan kegiatan lapangan lain dilaksanakan secara terpadu<br />
dalam Tim.<br />
No Jenis Kegiatan Jenis Tenaga Jumlah Keterangan<br />
1 Kepala Puskesmas Dokter / Sarjana<br />
kesehatan lain<br />
yang terdidik<br />
dalam Public<br />
Health<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Kepala Tata Usaha<br />
R/R, Perencana, Ev<br />
Bendahara & Ur. Umum<br />
Supir<br />
Penjaga Puskesmas/Pramu<br />
Perawat<br />
Perawat<br />
SMEA / SMA<br />
SMTP<br />
SD<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Perawat Senior<br />
Unit Tata Usaha<br />
7<br />
8<br />
9<br />
Karcis dan Kartu<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Umum<br />
Pekarya<br />
Dokter Umum<br />
Perawat<br />
1<br />
-<br />
1<br />
Dirangkap Ka Puskes<br />
Unit 3<br />
10<br />
11<br />
12<br />
Poliklinik Gigi<br />
Klinik KIA & KB<br />
Kesehatan. Gizi Keluarga<br />
Perawat Gigi<br />
Bidan<br />
PAG<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 2<br />
13<br />
14<br />
Perkesmas<br />
Laboratorium<br />
Bidan<br />
Analis<br />
-<br />
1<br />
Tugas rangkap<br />
15<br />
16<br />
17<br />
Apotik<br />
Pencegahan & Pemb<br />
Surveillance<br />
Pekarya<br />
Epidemolog<br />
Sanitarian<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 1<br />
18<br />
19<br />
Imunisasi<br />
PSM<br />
Perawat<br />
Bidan<br />
1<br />
1<br />
Unit 4<br />
20<br />
21<br />
Kesling & Penyuluhan<br />
JPKM<br />
Sanitarian<br />
Perawat / D3<br />
Askes<br />
-<br />
1<br />
Tugas rangkap<br />
Tugas rangkap<br />
22<br />
23<br />
24<br />
Setiap Pustu<br />
Setiap Bidan Desa<br />
Tugas Perawatan<br />
Perawat<br />
Bidan<br />
Dokter Umum<br />
1<br />
1<br />
-<br />
Tugas rangkap<br />
25<br />
26<br />
Tugas Perawatan<br />
Tugas Perawatan<br />
Perawat<br />
Pekarya<br />
4<br />
4<br />
(Unit 5) setiap<br />
tugas juga 6 jam 1 orang<br />
perawat. Jadi<br />
24 jam 4 or prwt & 4<br />
pekarya<br />
J U M L A H 27<br />
5. DSP PUSKESMAS PERAWATAN DI DAERAH KEPULAUAN<br />
Puskesmas dipulau-pulau dikembangkan menjadi Puskesmas dengan perawatan yang lebih<br />
mandiri karena letaknya yang terisolasi dan kesulitan hubungan laut mengakibatkan orang<br />
sakit ditampung untuk mengatasi masalah darurat. Sehubungan dengan itu Puskesmas ini<br />
dilengkapi dengan peralatan yang memungkinkan dokter umum menegakkan diagnostik,<br />
seperti alat rontgen, peralatan bedah mikro, bangsal perawatan berjumlah 15 hingga 20<br />
tempat tidur, kamar persalinan.<br />
Tabel. VI.6<br />
No<br />
Jenis Kegiatan<br />
Jenis Tenaga<br />
Jumlah<br />
Keterangan<br />
1 Kepala Puskesmas Dokter / Sarjana kesehatan<br />
lain yang terdidik dalam<br />
public health<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Kepala Tata Usaha<br />
R/R, Perencana, Ev<br />
Bendahara & Ur. Umum<br />
Motoris<br />
Penjaga Puskesmas/Pramu<br />
Perawat<br />
Perawat<br />
SMEA / SMA<br />
SMTP<br />
SD<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit Tata Usaha<br />
Motoris<br />
Motorboot<br />
7<br />
8<br />
9<br />
Bagian Karcis dan Kartu<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Umum<br />
Pekarya<br />
Dokter Umum<br />
Perawat<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Ada 2 or Dr<br />
Umum bertugas<br />
anamnese<br />
10<br />
11<br />
12<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Gigi<br />
Poliklinik Gigi<br />
Pekarya<br />
Dokter Gigi<br />
Perawat Gigi<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 3<br />
13<br />
14<br />
Klinik KIA & KB<br />
Kes. Gizi Keluarga<br />
Bidan<br />
PAG<br />
1<br />
1<br />
Unit 2<br />
15<br />
16<br />
17<br />
Perkesmas<br />
Laboratorium<br />
Apotik<br />
Bidan<br />
Analis<br />
Ass. Apoteker<br />
-<br />
1<br />
1<br />
Tugas rangkap<br />
18<br />
19<br />
Apotik<br />
Radiologi<br />
Juru Obat<br />
APRO<br />
1<br />
1<br />
Unit 6<br />
20 Pencegahan & Pemberantasan Epidemolog 1<br />
21<br />
22<br />
Surveillance & Kesling<br />
Imunisasi<br />
Sanitarian<br />
Perawat<br />
1<br />
1<br />
Unit 1<br />
23<br />
24<br />
25<br />
26<br />
Peran Serta Masyarakat<br />
Penyuluhan<br />
UKS<br />
UKGS<br />
Bidan<br />
Sanitarian, Perawat<br />
Perawat<br />
Drg, Perawat Gigi<br />
1<br />
-<br />
-<br />
-<br />
Unit 4<br />
Tugas rangkap<br />
Tugas rangkap<br />
Tugas rangkap<br />
27 JPKM Perawat / D3 Askes 1<br />
28<br />
29<br />
30<br />
31<br />
32<br />
Perawatan<br />
Perawatan<br />
Perawatan<br />
R.Prwtan Ibu Hamil/melahirkan<br />
Tugas Perawatan<br />
Dokter Umum<br />
Perawat<br />
Pekarya<br />
Bidan<br />
Bidan<br />
-<br />
8<br />
4<br />
3<br />
-<br />
Ratio prwt : TT =<br />
1 : 10 utk 24 jam<br />
= 24/6 x 20/10<br />
=8 or<br />
prwt : pekarya<br />
= 2 : 1 tgs<br />
rangkap<br />
JUMLAH 38<br />
Catatan :<br />
Kegiatan Puskesmas, Posyandu dan kegiatan lapangan lain dilaksanakan secara terpadu<br />
dalam Tim.<br />
6. PUSKESMAS PERAWATAN DI DAERAH STRATEGIS<br />
Daerah strategis adalah daerah pusat perkembangan perekonomian yaitu daerah<br />
perdagangan barang-barang yang berasal dari pedalaman ataupun daerah transito antar<br />
kota. Ciri daerah ini berpenduduk relatif padat dibanding daerah sekitarnya, lalu lintas relatif<br />
ramai, sehingga kunjungan ke Puskesmas menjadi tinggi dibandingkan Puskesmas<br />
dilingkungan daerah sekitarnya. Pada daerah strategis seringkali dibangun sebuah<br />
Puskesmas dengan tempat perawatan untuk memudahkan memperoleh pelayanan dengan<br />
perawatan. Puskesmas semacam ini banyak ditemui di daerah-daerah luar Jawa. Puskesmas<br />
dapat dikategorikan sebagai Puskesmas Rujukan bagi daerah sekitanya.<br />
Tabel. VI.7<br />
No<br />
Jenis Kegiatan<br />
Jenis Tenaga<br />
Jumlah<br />
Keterangan<br />
1 Kepala Puskesmas Dokter / Sarjana kesehatan<br />
lain yang terdidik dalam<br />
public health<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Kepala Tata Usaha<br />
R/R, Perencana, Ev<br />
Bendahara & Ur. Umum<br />
Supir<br />
Penjaga Puskesmas/Pramu<br />
Sarjana Kes Masyarakat<br />
D2/D3 Statistik<br />
SMEA / SMA<br />
SMTP<br />
SD<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit Tata<br />
Usaha<br />
7<br />
8<br />
9<br />
Karcis dan Kartu<br />
Poliklinik Umum<br />
Poliklinik Umum<br />
Pekarya<br />
Dokter Umum<br />
Perawat<br />
1<br />
1<br />
1<br />
10<br />
11<br />
12<br />
Poliklinik Umum /Kamar Suntik<br />
Poliklinik Gigi<br />
Poliklinik Gigi<br />
Perawat /Pekarya<br />
Dokter Gigi<br />
Perawat Gigi<br />
1<br />
1<br />
1<br />
Unit 3<br />
13<br />
14<br />
Klinik KIA & KB<br />
Perkesmas<br />
Kes. Gizi Keluarga<br />
Bidan<br />
Bidan<br />
Akademi Gizi<br />
2<br />
1<br />
1<br />
Unit 2<br />
15<br />
16<br />
17<br />
UKGS<br />
UKS<br />
Laboratorium<br />
Apotik<br />
Dokter Gigi,perawat Gigi<br />
Perawat<br />
Analis<br />
Ass. Apoteker<br />
-<br />
-<br />
1<br />
Tugas rangkap<br />
Tugas rangkap<br />
18<br />
19<br />
Apotik<br />
Radiologi<br />
Juru Obat<br />
APRO<br />
1<br />
1<br />
Unit 6<br />
20 Pencegahan & Pemberantasan Epidemolog 1<br />
21<br />
22<br />
Surveillance & Kesling<br />
Imunisasi<br />
Sanitarian<br />
Perawat<br />
1<br />
1<br />
Unit 1<br />
23<br />
24<br />
25<br />
Peran Serta Masyarakat<br />
Penyuluhan<br />
JPKM<br />
Bidan<br />
Sanitarian/ Perawat<br />
Perawat / D3 Askes<br />
1<br />
-<br />
1<br />
Unit 4<br />
26<br />
27<br />
28<br />
29<br />
Perawatan<br />
Perawatan<br />
Perawatan<br />
Kamar Persalinan<br />
Dokter Umum<br />
Perawat<br />
Pekarya<br />
Bidan<br />
-<br />
7<br />
4<br />
2<br />
Tugas rangkap<br />
Unit 5<br />
J U ML A H 42<br />
Catatan :<br />
Kegiatan Puskesmas, Posyandu dan kegiatan lapangan lain secara terpadu dalam Tim.<br />
VI.1.b Prosedur penghitungan kebutuhan SDM kesehatan dengan<br />
menggunakan METODE WISN (Work Load Indikator Staff Need/<br />
Kebutuhan SDM kesehatan Berdasarkan Indikator Beban Kerja)<br />
Metode perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan beban kerja (WISN) adalah<br />
suatu metode perhitungan kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan pada beban<br />
pekerjaan nyata yang dilaksanakan oleh tiap kategori SDM kesehatan pada tiap unit<br />
kerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan metode ini mudah dioperasikan, mudah<br />
digunakan, secara teknis mudah diterapkan, komprehensif dan realistis.<br />
Adapun langkah perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan WISN ini meliputi 5<br />
langkah, yaitu :<br />
1. Menetapkan waktu kerja tersedia;<br />
2. Menetapkan unit kerja dan kategori SDM;<br />
3. Menyusun standar beban kerja;<br />
4. Menyusun standar kelonggaran;<br />
5. Perhitungan kebutuhan tenaga per unit kerja.<br />
Pada dasarnya metode WISN ini dapat di gunakan di rumah sakit, puskesmas<br />
dan sarana kesehatan lainnya, atau bahan dapat digunakan untuk kebutuhan tenaga di<br />
Kantor Dinas Kesehatan. Sebagai contoh dibawah ini disajikan penggunaan metode<br />
WISN di sarana pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.<br />
LANGKAH PERTAMA<br />
MENETAPKAN WAKTU KERJA TERSEDIA<br />
Menetapkan waktu kerja tersedia tujuannya adalah diperolehnya waktu kerja tersedia<br />
masing-masing kategori SDM yang bekerja di Rumah Sakit selama kurun waktu satu<br />
tahun.<br />
Data yang dibutuhkan untuk menetapkan waktu kerja tersedia adalah<br />
sebagai berikut :<br />
1. Hari kerja, sesuai ketentuan yang berlaku di RS atau Peraturan Daerah setempat,<br />
pada umumnya dalam 1 minggu 5 hari kerja. Dalam 1 tahun 250 hari kerja (5 hari x<br />
50 minggu). (A)<br />
2. Cuti tahunan, sesuai ketentuan setiap SDM memiliki hak cuti 12 hari kerja setiap<br />
tahun. (B)<br />
3. Pendidikan dan pelatihan, sesuai ketentuan yang berlaku di RS untuk<br />
mempertahankan dan meningkatkan kompetensi/profesionalisme setiap kategori<br />
SDM memiliki hak untuk mengikuti pelatihan/kursus/seminar/ lokakarya dalam 6<br />
hari kerja. (C)<br />
4. Hari Libur Nasional, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Terkait tentang Hari<br />
Libur Nasional dan Cuti Bersama, tahun 2002-2003 ditetapkan 15 Hari Kerja dan 4<br />
hari kerja untuk cuti bersama. (D)<br />
5. Ketidak hadiran kerja, sesuai data rata-rata ketidak hadiran kerja (selama kurun<br />
waktu 1 tahun) karena alasan sakit, tidak masuk dengan atau tanpa<br />
pemberitahuan/ijin. (E)<br />
6. Waktu kerja, sesuai ketentuan yang berlaku di RS atau Peraturan Daerah, pada<br />
umumnya waktu kerja dalam 1 hari adalah 8 jam (5 hari kerja/minggu). (F)<br />
Berdasarkan data tersebut selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menetapkan waktu<br />
tersedia dengan rumus sebagai berikut :<br />
Waktu Kerja Tersedia = {A - (B+C+D+E)} X F<br />
Keterangan :<br />
A = Hari Kerja D = Hari Libur Nasional<br />
B = Cuti Tahunan E = Ketidak Hadiran Kerja<br />
C = Pendidikan dan Pelatihan F = Waktu Kerja<br />
Apabila ditemukan adanya perbedaaan rata-rata ketidak hadiran kerja atau RS<br />
menetapkan kebijakan untuk kategori SDM tertentu dapat mengikuti pendidikan dan<br />
pelatihan lebih lama di banding kategori SDM lainnya, maka perhitungan waktu kerja<br />
tersedia dapat dilakukan perhitungan menurut kategori SDM. Untuk lebih jelasnya dapat<br />
dilihat simulasi perhitungan berdasarkan rumus waktu kerja tersedia sebagaimana<br />
diuraikan pada Tabel VI.8 di bawah ini.<br />
TABEL VI.8<br />
WAKTU KERJA TERSEDIA<br />
Kode FAKTOR KATEGORI SDM<br />
Perawat Dokter<br />
Sp. X<br />
KETERANGAN<br />
A Hari Kerja 260 260 Hari/tahun<br />
B Cuti Tahunan 12 12 Hari/tahun<br />
C Pendidikan dan Pelatihan 5 10 Hari/tahun<br />
D Hari Libur Nasional 19 19 Hari/tahun<br />
E Ketidak Hadiran Kerja 10 12 Hari/tahun<br />
F Waktu Kerja 8 8 Jam/hari<br />
Waktu Kerja Tersedia 1,712 1,656 Jam/tahun<br />
Hari Kerja Tersedia 214 207 Harikerja/thn<br />
Waktu kerja tersedia untuk kategori SDM Perawat adalah 1,704 jam/tahun, atau 213<br />
hari kerja. Sedangkan kategori SDM Dokter Spesialis X adalah 1,616 atau 189 hari<br />
kerja/tahun.<br />
Uraian perhitungannya adalah sebagai berikut:<br />
1. Waktu kerja tersedia untuk kategori SDM :<br />
a. Perawat = {260 - (12+5+19+10)}<br />
= 214 hari kerja/tahun<br />
b. Dokter Sp. X = {260 - (12+10+19+12)}<br />
= 207 hari kerja/tahun<br />
2. Hari kerja tersedia untuk kategori SDM :<br />
a. Perawat<br />
= ( 214 hari/tahun) x 8 (jam/hari)<br />
= 1,712 jam kerja/tahun<br />
b. Dokter Sp. X<br />
= (207 hari kerja/tahun) x 8<br />
(jam/hari)<br />
= 1,656 jam kerja/tahun<br />
LANGKAH KEDUA<br />
MENETAPKAN UNIT KERJA DAN KATAGORI SDM<br />
Menetapkan unit kerja dan kategori SDM tujuannya adalah diperolehnya unit<br />
kerja dan kategori SDM yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan kegiatan<br />
pelayanan kesehatan perorangan pada pasien, keluarga dan masayarakat di dalam dan<br />
di luar RS.<br />
Data dan informasi yang dibutuhkan untuk penetapan unit kerja dan kategori<br />
SDM adalah sebagai berikut :<br />
1. Bagan Struktur Organisasi RS dan uraian tugas pokok dan fungsi masing-masing<br />
unit dan sub-unit kerja.<br />
2. Keputusan Direktur RS tentang pembentukan unit kerja struktural dan fungsional,<br />
misalnya: Komite Medik, Komite Pangendalian Mutu RS. Bidang/Bagian Informasi.<br />
3. Data Pegawai Berdasarkan Pendidikan yang bekerja pada tiap unit kerja di RS.<br />
4. PP 32 tahun 1996 tentang SDM kesehatan.<br />
5. Peraturan perundang undangan berkaitan dengan jabatan fungsional SDM<br />
kesehatan.<br />
6. Standar profesi, standar pelayanan dan standar operasional prosedur (SOP) pada<br />
tiap unit kerja RS.<br />
Analisa Organisasi<br />
Fungsi utama rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang<br />
mengutamakan pelayanan kesehatan perorangan meliputi pelayanan kesehatan kuratif,<br />
rehabilitatif secara serasi dan terpadu dengan pelayanan preventif dan promotif.<br />
Berdasarkan fungsi utama tersebut, unit kerja RS dapat dikelompokkan sebagai berikut:<br />
1. Unit Kerja Fungsional Langsung, adalah unit dan sub-unit kerja yang langsung<br />
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan perorangan di dalam dan di<br />
luar RS, misalnya : Intalasi Rawat Inap, Intalasi Rawat Jalan, Instalasi Gawat<br />
Darurat, Instalasi Laboratorium, Instalasi Radiologi, Instalasi Farmasi/Apotik, Unit<br />
Pelayanan Home Care dll.<br />
2. Unit Kerja Fungsional Penunjang, adalah unit dan sub-unit kerja yang tidak langsung<br />
berkaitan dengan penyelenggaraan :<br />
- Pelayanan kesehatan perorangan di RS, misalnya: Instalasi Tata Usaha Rawat<br />
Inap/Rawat Jalan, Intalasi Pemeliharaan Sarana RS.<br />
- Pelayanan kesehatan Promotif di dalam dan diluar RS, misalnya: Unit<br />
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM-RS).<br />
Apabila ditemukan unit atau sub-unit kerja fungsional yang belum diatur atau<br />
ditetapkan oleh Direktur, Depkes, Pemda (Pemilik RS) perlu ditelaah terlebih dahulu<br />
sebelum disepakati ditetapkan keberadaanya. Selanjutnya apakah fungsi, kegiatankegiatannya<br />
dapat digabung atau menjadi bagian unit kerja yang telah ada.<br />
Setelah unit kerja dan sub unit kerja di RS telah ditetapkan, langkah selanjutnya<br />
adalah menetapkan kategori SDM sesuai kompetensi atau pendidikan untuk menjamin<br />
mutu, efisensi dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan/pelayanan di tiap unit kerja RS.<br />
Data kepegawaian, standar profesi, standar pelayanan, fakta dan pengalaman<br />
yang dimiliki oleh penanggung jawab unit kerja adalah sangat membantu proses<br />
penetapan kategori SDM di tiap unit kerja di RS.<br />
Untuk menghindari hambatan atau kesulitan perhitungan kebutuhan SDM<br />
berdasarkan beban kerja, sebaiknya tidak menggunakan metode analisis jabatan untuk<br />
menetapkan kategori SDM sesuai kompetensi yang dipersyaratkan dalam melaksanakan<br />
suatu pekerjaan / kegiatan di tiap unit kerja RS.<br />
TABEL VI.9<br />
UNIT KERJA DAN KATEGORI SDM<br />
NO UNIT KERJA SUB UNIT KERJA KATEGORI SDM<br />
Poli Penyakit Dalam 1. Dr. Sp. PD<br />
2. Perawat<br />
Poli Kebidanan & Kandungan 1. Dr. Sp. OBG<br />
2. Bidan<br />
A. Instalasi Rawat Jalan<br />
Poli Bedah 1. Dr. Sp. BU<br />
2. Perawat<br />
1. Dr. Sp. BU<br />
2. Dr. Sp. BO<br />
3. Dr. Sp. Anastesi<br />
4. Dokter (umum) Plus<br />
5. Penata anestesi<br />
B. Rawat Inap Rawat Inap Bedah<br />
6. Perawat<br />
LANGKAH KETIGA<br />
MENYUSUN STANDAR BEBAN KERJA<br />
Standar beban kerja adalah volume/kuantitas beban kerja selama 1 tahun per<br />
kategori SDM. Standar beban kerja untuk suatu kegiatan pokok disusun berdasarkan<br />
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakannya (rata-rata waktu) dan waktu yang<br />
tersedia per-tahun yang dimiliki oleh masing-masing kategori tanaga.<br />
Pelayanan kesehatan di RS bersifat individual, spesifik dan unik sesuai<br />
karateristik pasien (umur, jenis kelamin), jenis dan berat ringannya penyakit, ada<br />
tidaknya komplikasi. Disamping itu harus mengacu pada standar pelayanan dan standar<br />
operasional prosedur (SOP) serta penggunaan teknologi kedokteran dan prasarana yang<br />
tersedia secara tepat guna. Oleh karena itu pelayanan kesehatan RS membutuhkan<br />
SDM yang memiliki berbagai jenis kompetensi, jumlah dan distribusinya tiap unit kerja<br />
sesuai beban kerja.<br />
Data dan informasi yang dibutuhkan untuk menetapkan beban kerja masingmasing<br />
kategori SDM utamanya adalah sebagai berikut :<br />
1. Kategori SDM yang bekerja pada tiap unit kerja RS sebagaimana hasil yang telah<br />
ditetapkan pada langkah kedua.<br />
2. Standar profesi, standar pelayanan yang berlaku di RS.<br />
3. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh tiap kategori SDM untuk<br />
melaksanakan/menyelesaikan berbagai pelayanan RS.<br />
4. Data dan informasi kegiatan pelayanan pada tiap unit kerja RS.<br />
Beban kerja masing-masing kategori SDM di tiap unit kerja RS adalah<br />
meliputi :<br />
1. Kegiatan pokok yang dilaksanakan oleh masing-masing kategori SDM.<br />
2. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap kegiatan pokok.<br />
3. Standar beban kerja per 1 tahun masing-masing kategori SDM<br />
Kegiatan Pokok<br />
Kegiatan pokok adalah kumpulan berbagai jenis kegiatan sesuai standar<br />
pelayanan dan standar operasional prosedur (SOP) untuk menghasilkan pelayanan<br />
kesehatan/medik yang dilaksanakan oleh SDM kesehatan dengan kompetensi tertentu.<br />
Langkah selanjutnya untuk memudahkan dalam menetapkan beban kerja<br />
masing-masing kategori SDM, perlu disusun kegiatan pokok serta jenis kegiatan<br />
pelayanan, yang berkaitan langsung/ tidak langsung dengan pelayanan kesehatan<br />
perorangan.<br />
Tabel VI.10 dibawah ini diuraikan contoh sederhana penyusunan kegiatan pokok<br />
di Unit Kerja Instalasi Rawat Jalan Poli Sepsialis Penyakit Dalam.<br />
TABEL VI.10<br />
KEGIATAN POKOK DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM<br />
DI INSTALASI RAWAT JALAN<br />
UNIT KERJA/<br />
KATEGORI SDM<br />
KEGIATAN<br />
KEGIATAN POKOK<br />
INSTALASI RAWAT JALAN<br />
Poli Penyakit Dalam<br />
Pasien Baru :<br />
Dr. Sp. PD - Anamnesa<br />
- Pemeriksaan Fisik<br />
- Pembacaan Hasil Lab/Rontgen<br />
- Penulisan Resep/Rujukan<br />
Pemeriksaan Pasien Baru<br />
Pasien Lama :<br />
- Anamnesa<br />
- Pemeriksaan Fisik<br />
- Pembacaan Hasil Lab/Rontgen<br />
- Penulisan Resep/Rujukan<br />
Pemeriksaan Pasien Lama<br />
Rata-Rata Waktu<br />
Rata-rata waktu adalah suatu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan<br />
suatu kegiatan pokok, oleh masing-masing kategori SDM pada tiap unit kerja.<br />
Kebutuhan waktu untuk menyelesaiakan kegiatan sangat bervariasi dan dipengaruhi<br />
standar pelayanan, standar operasional prosedur (SOP), sarana dan prasarana medik<br />
yang tersedia serta kompetensi SDM.<br />
Rata-rata waktu ditetapkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman selama<br />
bekerja dan kesepakatan bersama. Agar diperoleh data rata-rata waktu yang cukup<br />
akurat dan dapat dijadikan acuan, sebaiknya ditetapkan berdasarkan waktu yang<br />
dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap kegiatan pokok oleh SDM yang<br />
memilikikompetensi, kegiatan pelaksanaan standar pelayanan, standar operasional<br />
prosedur (SOP) dan memiliki etos kerja yang baik.<br />
Secara bertahap RS dapat melakukan studi secara intensif untuk menyusun<br />
standar waktu yang dibutuhkan menyelesaikan tiap kegiatan oleh masing-masing<br />
kategori SDM.<br />
Standar Beban kerja<br />
Standar beban kerja adalah volume/kuantitas beban kerja selama 1 tahun per<br />
kategori SDM. Standar beban kerja untuk suatu kegiatan pokok disusun berdasarkan<br />
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan nya (waktu rata-rata) dan waktu kerja<br />
tersedia yang dimiliki oleh masing-masing kategori SDM.<br />
Adapun rumus perhitungan standar beban kerja adalah sebagai<br />
berikut:<br />
Waktu Kerja Tersedia<br />
Standar Beban Kerja =<br />
Rata-rata waktu Peraturan-Kegiatan Pokok<br />
Hasil perhitungan standar beban kerja kategori SDM Dokter Spesialis Penyakit<br />
Dalam dan Dokter Spesialis Bedah berdasarkan kegiatan pokok di Instalasi Rawat Inap<br />
dan Rawat Jalan serta rata-rata waktu yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel IV.11<br />
di bawah ini .<br />
TABEL IV.11<br />
KEGIATAN POKOK DAN RATA-RATA WAKTU KERJA<br />
NO KATEGORI<br />
SDM<br />
UNIT KERJA / KEGIATAN POKOK RATA-RATA<br />
WAKTU<br />
STANDAR<br />
BEBAN<br />
KERJA<br />
POLI PENYAKIT DALAM<br />
- Pemeriksaan pasien lama 7’ 14,194<br />
- Pemeriksaan pasien baru 9’ 9,973<br />
RATWAT INAP PENYAKIT DALAM<br />
- Visite pasien lama 4’ 24,840<br />
- Visite pasien baru 6’ 16,560<br />
- Tindakan medik kecil 15’ 6,624<br />
POLI BEDAH<br />
- Pemeriksaan pasien lama<br />
7’<br />
14,194<br />
- Pemeriksaan pasien baru 9’ 11,040<br />
- Tindakan medik kecil 15’ 6,624<br />
- Tindakan medik sedang 25’ 3,974<br />
A.<br />
B<br />
Dr. Sp. PD<br />
Dr. Sp. B<br />
RAWAT INAP BEDAH<br />
- Visite pasien lama 4’ 24,840<br />
- Visite pasien baru 15’ 16,560<br />
- Tindakan medik kecil 15’ 6,624<br />
Kategori SDM dokter Spesial Penyakit Dalam memiliki Standar Beban kerja pertahun<br />
sebesar pemeriksaan 9,973 pasien baru poli rawat jalan. Hal ini tidak berarti<br />
seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam diharapkan mengerjakan sejumlah 9.973<br />
pemeriksaan Pasien Baru Poli Rawat Jalan dalam 1 tahun. Namun Dokter Spesialis<br />
Penyakit Dalam juga melaksanakan berbagai kegiatan lain yang menyita jam kerja<br />
tersedia yang dimilikinya.<br />
Standar Beban Kerja per tahun untuk SDM Dokter Spesialis Penyakit Dalam<br />
tersebut, menunjukkan bahwa pemeriksaan pasien rawat jalan membutuhkan waktu<br />
1/9.973 dari hari kerja tersedia selama 1 tahun.<br />
LANGKAH KEEMPAT<br />
PENYUSUNAN STANDAR KELONGGARAN<br />
Penyusunan standar kelonggaran tujuannya adalah diperolehnya faktor<br />
kelonggaran tiap kategori SDM meliputi jenis kegiatan dan kebutuhan waktu untuk<br />
menyelesaiakan suatu kegiatan yang tidak terkait langsung atau dipengaruhi tinggi<br />
rendahnya kualitas atau jumlah kegiatan pokok/pelayanan.<br />
Penyusunan faktor kelonggaran dapat dilaksanakan melalui pengamatan dan<br />
wawancara kepada tiap kategori tentang :<br />
1. Kegiatan-kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pelayanan pada pasien,<br />
misalnya ; rapat, penyusunan laporan kegiatan, menyusun kebutuhan obat/bahan<br />
habis pakai.<br />
2. Frekuensi kegiatan dalam suatu hari, minggu, bulan<br />
3. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan<br />
Selama pengumpulan data kegiatan penyusunan standar beban kerja, sebaiknya<br />
mulai dilakukan pencatatan tersendiri apabila ditemukan kegiatan yang tidak dapat<br />
dikelompokkan atau sulit dihitung beban kerjanya karena tidak/kurang berkaitan dengan<br />
pelayanan pada pasien untuk selanjutnya digunakan sebagai sumber data penyusunan<br />
faktor kelonggaran tiap kategori SDM.<br />
Setelah faktor kelonggaran tiap kategori SDM diperoleh, langkah selanjutnya<br />
adalah menyusun Standar Kelonggaran dengan melakukan perhitungan berdasarkan<br />
rumus di bawah ini.<br />
Rata-rata Waktu Per-Faktor Kelonggaran<br />
Standar Kelonggaran =<br />
Waktu Kerja Tersedia<br />
Pada umumnya kategori SDM Dr. Sp. Penyakit Dalam dan Dr. Sp. Bedah<br />
memiliki faktor kelonggaran sebagai berikut :<br />
1. Pertemuan audit medik<br />
2. Mengajar program pendidikan dokter<br />
3. Mengajar program pendidikan dokter spesialis.<br />
Apabila kategori SDM Dr. Sp. Penyakit Dalam memiliki waktu kerja tersedia 1,656<br />
jam/tahun dan faktor kelonggaran pertemuan audit medik 1 jam/minggu maka Standar<br />
Kelonggaran yang dimilikinya adalah sebesar 0,06 SDM. Hal ini juga dapat diartikan<br />
bahwa kegiatan pertemuan audit medik membutuhkan/menyita 6 % waktu kerja<br />
tersedia Dr. Sp. Penyakit Dalam. Adapun uraian perhitungannya adalah sebagai berikut :<br />
1. Waktu kerja tersedia : 1,656 jam/tahun<br />
2. Faktor kelonggaran : Pertemuan audit medik, 1 jam/minggu (1 jam x 52<br />
Minggu = 52 jam/tahun)<br />
3. 52 jam/tahun<br />
Standar Kelonggaran :<br />
1.656 jam tahun<br />
: 0,03 SDM<br />
Hasil perhitungan stnadar kelonggaran untuk kategori SDM Dokter Spesialis<br />
Penyakit Dalam sebesar 0,188 dan Dokter Spesialis Bedah 0,220. Adapun besarnya<br />
standar kelonggaran tiap faktor kelonggaran dapat dilihat pada Tabel VI.12 di bawah ini.<br />
TABEL VI.12<br />
KEGIATAN POKOK DAN RATA-RATA WAKTU KERJA<br />
NO KATEGORI<br />
SDM<br />
FAKTOR KELONGGARAN RATARATA<br />
WAKTU<br />
STANDAR<br />
BEBAN<br />
KERJA<br />
- Pertemuan audit medik, 1 jam/minggu 1 jam/mgg 0,031<br />
- Mengajar : 9’ 9,973<br />
= Program pendidikan dokter 2 jam/mgg 0,063<br />
= Program pendidikan dokter spesialis 3 jam/mgg 0.094<br />
J U M L A H 0,188<br />
- Pertemuan audit medik 2 jam/mgg 0,063<br />
- Mengajar :<br />
= Program pendidikan dokter 2 jam/mgg 0,063<br />
= Program pendidikan dokter spesialis 3 jam/mgg 0,094<br />
A.<br />
B<br />
Dr. Sp. PD<br />
Dr. Sp. B<br />
J U M L A H<br />
0,220<br />
LANGKAH KELIMA<br />
PERHITUNGAN KEBUTUHAN SDM PER UNIT KERJA<br />
Perhitungan kebutuhan SDM per unit kerja tujuannya adalah<br />
diperolehnya jumlah dan jenis/kategori SDM per unit kerja sesuai beban kerja selama 1<br />
tahun.<br />
Sumber data yang dibutuhkan untuk perhitungan kebutuhan SDM per<br />
unit kerja meliputi :<br />
1. Data yang diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya yaitu :<br />
• Waktu kerja tersedia<br />
• Standar beban kerja dan<br />
• Standar kelonggaran masing-masing kategori SDM<br />
2. Kuantitas kegiatan pokok tiap unit kerja selama kurun waktu satu tahuan.<br />
Kuantitas Kegiatan Pokok<br />
Kuantitas kegiatan pokok disusun berdasarkan berbagai data kegiatan pelayanan<br />
yang telah dilaksanakan di tiap unit kerja RS selama kurun waktu satu tahun. Kuantitas<br />
kegiatan pelayanan Instalasi Rawat Jalan dapat diperoleh dari laporan kegiatan RS<br />
(SP2RS), untuk mendapatkan data kegiatan tindakan medik yang dilaksanakan di tiap<br />
poli rawat jalan perlu dilengkapi data dari Buku Register yang tersedia disetiap poli<br />
rawat jalan.<br />
Pada umumnya data kegiatan rawat jalan tersedia dan mudah diperoleh, namun<br />
apabila data hanya tersedia 7 bulan, maka data kuantitas kegiatan pokok 5 bulan<br />
berikutnya ditetapkan berdasarkan angka rata-rata kegiatan pokok selama 7 bulan<br />
(ekstrapolasi).<br />
TABEL VI.13<br />
KUANTITAS KEGIATAN POKOK INSTALASI RAWAT JALAN<br />
NO<br />
UNIT KERJA/<br />
KATEGORI<br />
POKOK<br />
KEGIATAN POKOK<br />
KUANTITAS<br />
A B C D<br />
A Poli Penyakit Dalam - Pem. pasien baru 9,100 1,300 6,500 15.600<br />
( Dr. Sp. PD ) - Pem. pasien lama 6,067 867 4,333 10,400<br />
B Poli Bedah - Pem. pasien baru 2,730 390 1,950 4,680<br />
( Dr. Sp. B ) - Pem. pasien lama 1,365 195 975 2,340<br />
- Tindakan medik kecil 1,706 244 1,219 2,925<br />
- Tindakan medik sedang 1,024 146 731 1,755<br />
Keterangan :<br />
A : Jumlah kegiatan pelayanan selama 7 bulan;<br />
B : Rata kegiatan pelayanan per bulan;<br />
C : Jumlah pelayanan 5 bulan berikutnya (b x 5 bulan);<br />
D : Jumlah kumulatif kegiatan pelayanan selama 1 tahun (A + C )<br />
Untuk penyusunan kuantitas kegiatan pokok Instalasi Rawat Inap dibutuhkan<br />
data dasar sebagai berikut :<br />
1. Jumlah tempat tidur<br />
2. Jumlah pasien masuk/keluar dalam 1 tahun<br />
3. Rata-rata sensus harian<br />
4. Rata-rata lama pasien di rawat (LOS)<br />
Berdasarkan data dasar tersebut dapat dihitung kuantitas kegiatan pokok di tiap<br />
Instalasi Rawat Inap dengan memperhatikan kebijakan operasional yang berkaitan<br />
dengan kategori SDM dan tanggung jawabnya dalam pemeriksaan pasien, tindakan<br />
medik rawat jalan, visite dan tindakan pada pasien rawat inap, misalnya :<br />
1. Visite dilakukan oleh Dokter Spesialis bagi seluruh pasien atau hanya pasien baru<br />
(hari pertama) dan pasien pulang saja.<br />
2. Tindakan kecil (sederhana, rendah resiko) dilakukan oleh Dokter Spesialis atau<br />
Dokter Umum dengan tambahan kompetensi dan kesenangan tertentu.<br />
Kuantitas kegiatan pokok sebagaimana diuraikan pada Tabel VII merupakan<br />
contoh untuk perhitungan beban kerja Instalasi Rawat Inap yang diperoleh dengan cara<br />
ekstrapolasi.<br />
TABEL VI.14<br />
KUANTITAS KEGIATAN POKOK INSTALASI RAWAT INAP<br />
KODE DATA RAWAT INAP INSTALASI RAWAT INAP<br />
PENY. DALAM BEDAH<br />
A Jumlah TT 150 100<br />
B Pasien masuk rawat inap per tahun 6,388 4,260<br />
C Rata-rata pasien perhari (sensus harian) 105 70<br />
D Rata-rata lama hari rawat /LOS-(C x 365)/B 6 6,00<br />
E Hari rawat per tahun – (D x B) 38,325 25,550<br />
F Rata-rata TT terpakai (BOR) ----E / (A x 365) 70 % 70 %<br />
G Pasien baru per tahun ---- (B) 6,388 4,260<br />
H Pasien lama per tahun ----- (E – B) 31,937 21,290<br />
Hasil perhitungan pada Tabel VI.13 dan Tabel VI.14 tersebut, selanjutnya<br />
dilakukan penggabungan dengan kuantitas kegiatan sebagaimana dapat di lihat pada<br />
Tabel VI.15 dibawah ini.<br />
TABEL VI.15<br />
KUANTITAS KEGIATAN POKOK<br />
INSTALASI RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP<br />
NO UNIT KERJA / KATEGORI SDM KEGIATAN POKOK KUANTITAS<br />
KEGIATAN<br />
INSTALASI RAWAT JALAN<br />
A Poli Penyakit Dalam - Pemeriksaan pasien baru 15,600<br />
( Dr. Sp. PD ) - Pemeriksaan pasien lama 10,400<br />
B Poli Bedah - Pemeriksaan pasien baru 4,680<br />
( Dr. Sp. B ) - Pemeriksaan pasien lama 2,340<br />
- Tindakan medik kecil 2,925<br />
- Tindakan medik sedang 1,755<br />
INSTALASI RAWAT INAP<br />
A Rawat Inap Penyakit Dalam - Visite pasien baru 6,388<br />
( Dr. Sp. PD ) - Visite pasien lama 31,937<br />
- Tindakan medik kecil 900<br />
B Rawat Inap Bedah - Visite pasien baru 4,260<br />
( Dr. Sp. B ) - Visite pasien lama 21,290<br />
- Tindakan medik kecil 2,129<br />
KEBUTUHAN SDM<br />
Data kegiatan Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap yang telah diperoleh (Tabel<br />
VIII) dan Standar Beban Kerja (Tabel IV) dan Standar Kelonggaran (Tabel V)<br />
merupakan sumber data untuk perhitungan kebutuhan SDM di setiap instalasi dan unit<br />
kerja dengan menggunakan rumus sebagai berikut :<br />
Kuantitas Kegiatan Pokok<br />
Kebutuhan SDM = + Standar<br />
Kelonggaran Standar Beban Kerja<br />
Berdasarkan rumus perhitungan tersebut, kebutuhan SDM untuk tiap kegiatan<br />
pokok terlebih dahulu di jumlahkan sebelum di tambahkan dengan Standar Kelonggaran<br />
masing-masing kategori SDM. Hasil perhitungan kebutuhan SDM dapat di lihat pada<br />
Tabel VI.16<br />
Kebutuhan SDM Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Spesialis Bedah untuk<br />
pelayanan di Instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan adalah sebagai berikut :<br />
1. Dokter Spesialis Penyakit Dalam :<br />
• Kebutuhan SDM Rawat Jalan = 2,14 (1,10 + 1,04)<br />
• Kebutuhan SDM Rawat Inap = 2,33 (0,26 + 1,93 + 0,14)<br />
• Standar Kelonggaran = 0,19<br />
JUMLAH = 4,66 SDM<br />
2. Dokter Spesialis Penyakit Bedah<br />
• Kebutuhan SDM Rawat Jalan = 2,14 (0,33 + 0,21 + 0,44 + 0,44<br />
• Kebutuhan SDM Rawat Inap = 1,78 (0,17 + 1,29 + 0,32)<br />
• Standar Kelonggaran = 0,22<br />
JUMLAH = 4,14 SDM<br />
Hasil perhitungan tersebut diperoleh kebutuhan Dokter Spesialis Penyakit Dalam<br />
adalah 4,66 atau dibulatkan menjadi 5 orang dan Dokter Spesialis Bedah 4,14 atau 4<br />
orang.<br />
TABEL VI.16<br />
KEBUTUHAN SDM DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM<br />
DAN DOKTER SPESIALIS BEDAH<br />
KATEGORI SDM/<br />
NO UNIT KERJA KEGIATAN POKOK KG SBK KT<br />
DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM<br />
A Poli Penyakit Dalam - Pemeriksaan pasien lama 15,600 14,194 1,10<br />
- Pemeriksaan pasien baru 10,400 9,973 1,04<br />
B Rawat Inap Penyakit - Visite pasien baru 6,388 24,840 0,26<br />
Dalam - Visite pasien lama 31,937 16,560 1,93<br />
- Tindakan medik kecil 900 6,624 0,14<br />
DOKTER SPESIALIS BEDAH<br />
A Poli Bedah - Pemeriksaan pasien lama 4,680 14,194 O,33<br />
- Pemeriksaan pasien baru 2,340 11,040 0,21<br />
- Tindakan medik kecil 2,925 6,624 0,44<br />
- Tindakan medik sedang 1,755 3,974 0,44<br />
B Ranap Inap Bedah - Visite pasien baru 4,260 24,840 0,17<br />
- Visite pasien lama 21,290 16,560 1,29<br />
- Tindakan medik kecil 2,129 6,624 0,32<br />
KETERANGAN :<br />
- KG = Kualitas Kegiatan selama 1 tahun<br />
- SBK = Standar Beban Kerja<br />
- KT = Kebutuhan SDM ( KG / SB )<br />
VI.2 PERENCANAAN KEBUTUHAN SDM KESEHATAN PADA TINGKAT<br />
WILAYAH ( PROPINSI/ KABUPATEN/KOTA)<br />
Perencanaan disini dimaksudkan untuk menghitung kebutuhan SDM kesehatan<br />
berdasarkan kebutuhan wilayah (Propinsi / Kabupaten/Kota) jangka menengah (5 – 10)<br />
tahun, dan jangka panjang ( 10 – 20 ) tahun .<br />
Yang akan dipakai disini adalah model perencanaan dengan menggunakan<br />
metode skenario / proyeksi dari WHO. Model ini merupakan penyederhanaan dari<br />
model yang telah dirancang oleh WHO menggunakan similasi komputer. Metode ini bisa<br />
dilakukan dengan membuat proyeksi ke depan mengenai sarana pelayanan kesehatan<br />
(Rumah Sakit dan Puskesmas) atau bisa juga dengan menggunakan proyeksi program<br />
pembangunan kesehatan.<br />
Dengan pendekatan ini, kita diminta untuk membuat beberapa alternatif/<br />
skenario kemungkinan tentang sistem pelayanan kesehatan dimasa depan yang<br />
mungkin terjadi. Dengan membuat berbagai gambaran keadaan masa depan di bidang<br />
kesehatan yang mungkin terjadi, kita akan bisa mengetahui kebutuhan SDM kesehatan<br />
untuk masing-masing skenario tersebut. Dengan memakai perencanaan skenario,<br />
kita akan dapat menunjukkan konsekuensi yang terjadi apabila kita memilih suatu<br />
kebijakan atau tindakan. Dengan memahami berbagai skenario yang mungkin terjadi<br />
dimasa depan, kita akan dapat membuat proyeksi kebutuhan SDM dimasa yang akan<br />
datang.<br />
Agar tercipta perencanaan skenario yang baik, kita harus mempunyai data<br />
yang baik tentang keadaan sekarang dan menyusun skenario dengan memakai asumsi<br />
yang realistis dan masuk akal. Semakin lengkap data yang diperlukan tersedia semakin<br />
tinggi akurasinya dalam menggambarkan keadaan di masa datang. Dengan bantuan<br />
model simulasi komputer ini, proyeksi yang perlu disusun terlebih dahulu adalah untuk<br />
penyediaan / produksi SDM. Kemudian dengan memanfaatkan skenario sistem<br />
pelayanan kesehatan yang telah lebih dahulu tersusun, proyeksi kebutuhan SDM<br />
kemudian dikembangkan.<br />
Dalam model proyeksi kebutuhan SDM ini, data dasar yang diperlukan adalah :<br />
1. Data SDM kesehatan yang ada dan secara aktif bekerja di sektor kesehatan<br />
(pemerintah dan swasta).<br />
2. Data keadaan penduduk serta proyeksi pertumbuhan penduduk,<br />
3. Perkiraan pola penyakit serta pola pelayanan kesehatan,<br />
4. Kebijakan, perencanaan dan arah pembangunan sektor kesehatan,<br />
5. Jumlah, jenis dan distribusi sarana kesehatan,<br />
6. Norma atau standar keSDMan dan produktivitas kerjanya,<br />
7. Asumsi tentang interaksi antara sektor pemerintah dan swasta, dalam arti dampak<br />
dari perubahan di sektor pemerintah terhadap sektor swasta dan atau<br />
kebalikannya.<br />
Model ini mengasumsikan bahwa semua jenis SDM kesehatan bekerja di 5 (lima)<br />
jenis sarana kesehatan, yaitu : (a) Rumah Sakit dan klinik pemerintah, (b) Sarana<br />
pelayanan rawat jalan ( tanpa tempat rawat inap ), (c) Institusi pendidikan, (d) Kantor<br />
kesehatan (non-klinis) seperti Dinas Kesehatan, Depkes, dan lain-lain, dan (e) sektor<br />
swasta, yang meliputi praktek swasta mandiri dan dokter SDM kesehatan swasta yang<br />
bekerja atau sebagai pegawai di sarana pelayanan kesehatan swasta.<br />
Dalam model ini, penyediaan SDM kesehatan dimasa mendatang ditentukan oleh<br />
; (a) SDM kesehatan yang saat ini aktif bekerja sebagai SDM kesehatan, (b) ditambah<br />
jumlah SDM kesehatan yang baru lulus setiap tahunnya, ditambah dengan (c) SDM<br />
kesehatan yang masuk dari luar daerah / luar negeri, dikurangi (d) SDM yang pensiun,<br />
yang tidak bekerja sebagai SDM kesehatan, pindah ke daerah lain / luar negeri, yang<br />
pensiun dan meninggal.<br />
Model ini dibuat dengan menggunakan simulasi komputer dalam bentuk sphread<br />
sheet ( excel ) . Untuk bisa mendapatkan hasil, harus dimasukkan data-data pada<br />
kolom yang berwarna kuning . Dalam sphread sheet terdapat 3 file yakni :<br />
File 1 ( supplai ) menggambarkan kondisi SDM, demografi, saat ini dan<br />
kecenderungan pengadaannya.<br />
File 2 ( sarana ), perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan lokasi / sarana<br />
File 3 ( program ), perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan programprogram<br />
kesehatan.<br />
Pada ketiga file ini terdapat beberapa sheet, masing-masing sheet terdapat beberapa<br />
kolom yang berwarna kuning yang harus diisi data.<br />
Bila data pada kolom berwarna kuning terisi semuanya akan dapat diketahui<br />
hasilnya. Masing-masing sheet ini saling berkaitan dan mempunyai rumus-rumus<br />
perhitungan.<br />
Adapun langkah-langkahnya adalah :<br />
I. Buka file Suplai<br />
File Suplai terdiri dari 9 sheet<br />
1. klik Core, akan diketahui waktu penyusunan dan lama proyeksi<br />
2. klik Demo, akan diketahui proyeksi penduduk pada tahun sasaran/ target<br />
3. klik supply, akan diketahui rasio populasi per nakes<br />
4. klik Train xx, akan diketahui penyediaan nakes pada tahun awal dan tahun<br />
proyeksi/ sasaran<br />
5. klik stock, akan diketahui perkiraan penyediaan SDM pada tahun awal, tahun<br />
sasaran berdasarkan rasio per populasi<br />
6. klik Enrol xx, jika terdapat institusi pendidikan di propinsi/kab/kota, akan<br />
diketahui total jumlah siswa, gudosin yg diperlukan dan lulusan baru<br />
7. klik compare, akan diketahui kesesuaian kebutuhan dan penyediaan beberapa<br />
jenis nakes pada tahun sasaran berdasarkan program dan sarana.<br />
8. klik Cend xx , akan diketahui proyeksi penyediaan pada tahun sasaran<br />
9. klik grafik, akan diketahui gambaran grafik penyesuaian penyediaan dan<br />
kebutuhan nakes<br />
II. Buka file Sarana<br />
File sarana terdiri dari 7 sprhead sheet<br />
1. klik Hosploc, akan diketahui kebutuhan RS dengan pendekatan lokasi di Prop /<br />
Kab / kota.<br />
2. klik Hostafloc, akan diketahui total SDM RS di Prop / Kab / kota.<br />
3. klik Ambuloc, akan diketahui kebutuhan fasilitas yankesmas / ambulatory<br />
berdasarkan lokasi<br />
4. klik ambustafloc, akan diketahui total SDM pada tahun sasaran pada fasilitas<br />
yankesmas.<br />
5. klik other loc, akan diketahui kebutuhan nakes di unit administrasi<br />
6. klik reqloc, akan diketahui ringkasan kebutuhan nakes berdasarkan lokasi/<br />
`fasilitas kesehatan<br />
7. klik comploc, akan diketahui perbandingan penyediaan dan kebutuhan nakes<br />
berdasarkan lokasi / fasilitas yankes.<br />
III. Buka file Program<br />
File program ini terdiri dari beberapa program dan total kebutuhan program di Dinas<br />
Kesehatan Prop / kab / kota.<br />
1. klik jam kerja, akan diketahui jumlah hari kerja dalam setahun, rata-rata jam<br />
kerja perhari, jumlah jam kerja setahun<br />
2. klik masing-masing program, misal PMT-AS, akan diketahui kebutuhan nakes<br />
pada program PMT-AS. Dan demikian juga seterusnya pada masing-masing<br />
sheet.<br />
3. klik Total program dinkes, akan diketahui total kebutuhan SDM di dinas<br />
berdasarkan program-program yang akan dilaksanakan di dinkes tersebut.<br />
Print-out file-file ini ada dalam lampiran.<br />
Lampiran 1: Prin-out file supplai<br />
Lampiran 2 : Print-out file sarana<br />
Lampiran 3 : print-out file Program<br />
Pada print-out , data yang harus diisi terdapat pada kolom yang berwarna lebih gelap.<br />
VI.3. Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan untuk Bencana<br />
Bencana biasanya terjadi secara tidak terduga dan dapat mengakibatkan<br />
jatuhnya korban dalam jumlah besar, diikuti dengan rusaknya infra struktur. Pada<br />
banyak kejadian bencana diikuti dengan terjadinya pengungsian penduduk.<br />
Pada kejadian bencana diperlukan adanya tindakan pelayanan kesehatan secara<br />
cepat dan tepat untuk mengurangi jumlah korban.<br />
Oleh karena itu kebutuhan SDM untuk penanggulangan masalah kesehatan di<br />
daerah bencana memperhatikan hal-hal :<br />
1. Waktu untuk bereaksi yang singkat untuk memberikan pertolongan<br />
2. Kecepatan dan ketepatan dalam bertindak untuk mengupayakan pertolongan<br />
terhadap korban bencana, sehingga jumlah korban dapat diminimalkan.<br />
3. Kondisi penduduk di daerah bencana ( geografi, populasi, ekonomi, sosbud dan<br />
sebagainya )<br />
4. Ketersediaan fasilitas kesehatan<br />
5. Kemampuan sumber daya setempat.<br />
Metode Penyusunan Kebutuhan SDM<br />
1. Upaya pelayanan kesehatan di daerah bencana pada fase tanggap darurat agak<br />
berbeda dengan standar pelayanan kesehatan yang ada pada daerah normal, yakni<br />
1 dokter untuk 2.000 pengungsi dan 2 perawat untuk 1.000 pengungsi.<br />
Disamping upaya pelayanan kesehatan diperlukan pula ketersediaan SDM manajerial<br />
yang memahami upaya penanggulangan masalah kesehatan.<br />
Adapun jumlah kebutuhan SDM adalah :<br />
Tingkat Propinsi :<br />
Tingkat pendidikan jenjang Strata 2 sebanyak 4 orang , dengan rincian 2 orang<br />
memahami bidang management dan 2 orang bidang medis.<br />
Tingkat Kab / Kota :<br />
Tingkat pendidikan jenjang Strata 1 sebanyak 2 orang dengan rincian 1 orang<br />
bidang management dan 1 orang bidang medis.<br />
2. Membentuk Brigade Siaga Bencana Besar di tiap Propinsi yang anggotanya terdiri<br />
dari berbagai multi disiplin ilmu.<br />
3. Kebutuhan SDM pada kondisi pasca bencana, idealnya memang memiliki suatu<br />
standar yang dapat digunakan untuk mengetahui secara tepat jumlah kebutuhan<br />
SDM kesehatan, namun karena belum berjalannya sistim kesiapsiagaan<br />
penanggulangan bencana maka untuk menghitung, mengacu pada kondisi normal (<br />
1 : 20.000 ) dan memperhitungkan kebutuhan pelayanan darurat di daerah<br />
bencana.<br />
Adapun klasifikasi kebutuhan SDM kesehatan pada kondisi pasca bencana terdiri<br />
dari ( bertugas selama 24 jam dalam 3 shift ) :<br />
Dokter 4 orang Asisten Apoteker 1 orang<br />
Kesling 8 orang Teknisi Lab 1 orang<br />
Bidan 8 – 16 orang Ahli gizi 2 orang<br />
Para medis 8 – 16 orang Pembantu Umum 5 – 10 orang<br />
RENCANA KEBUTUHAN SDM<br />
KEKUATAN<br />
KELEMAHAN<br />
Terbentuknya sistim informasi mengenai<br />
kekuatan sumber daya yang mendukung<br />
mempercepat upaya penanggulangan<br />
masalah kesehatan secara cepat, tepat<br />
sehingga meminimalkan jumlah korban.<br />
1. Evaluasi terhadap sosialisasi hasil<br />
pelatihan management penanggulangan<br />
bencana di Propinsi, Kabupaten / Kota<br />
belum pernah dilakukan, sehingga tidak<br />
dapat diketahui seberapa jauh<br />
implementasi yang telah dilakukan untuk<br />
penanggulangan masalah kesehatan<br />
akibat bencana.<br />
2. Rencana kontijensi yang masih lemah<br />
dan berorientasi pada anggaran.<br />
3. Belum adanya sistem informasi mengenai<br />
kekuatan sumber daya di setiap Propinsi,<br />
Kabupaten / Kota, sehingga menyulitkan<br />
dalam perhitungan kebutuhan SDM di<br />
daerah bencana.<br />
BAB VII<br />
TINDAK LANJUT<br />
Tindak Lanjut Setelah Penyusunan Rencana<br />
Setelah dokumen perencanaan tersusun tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah:<br />
Pimpinan di daerah memberi arah dan petunjuk dalam melakukan :<br />
pengadaan SDM ( rekruitmen dan seleksi )<br />
pendayagunaan SDM ( merencanakan distribusinya, kelanjutan kariernya, serta<br />
kesejahteraannya )<br />
Pembinaan dan pengawasan SDM<br />
Bagi SDM yang diketahui kurang kompeten dilakukan pelatihan baik kemampuan<br />
manajerial maupun keterampilannya.<br />
Pengawasan dilakukan bersama-sama / melibatkan sektor lain termasuk<br />
Organisasi Profesi dan swasta<br />
Untuk memperbaiki kualitas perencanaan di daerah, pimpinan di daerah perlu<br />
meningkatkan kemampuan perencanaan SDM kesehatan di daerah , seperti :<br />
• dalam menetapkan sasaran harus jelas dan terukur sehingga dapat<br />
dilaksanakan<br />
• melakukan upaya pembinaan perencanaan dengan pelatihan maupun bantuan<br />
teknis<br />
• melakukan pengembangkan perencanaan termasuk metodenya<br />
• mengalokasikan sumber daya pendukung seperti alokasi dana dan sarana yang<br />
memadai<br />
BAB VIII<br />
P E N U T U P<br />
Sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah<br />
daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan<br />
pemerintahan dan kewenangan propinsi, maka buku pedoman tentang Perencanaan<br />
SDM Kesehatan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai panduan yang merupakan<br />
satu dari sekian banyak panduan dalam pengelolaan SDM Kesehatan.<br />
Sejalan dengan prinsip penyelenggaraan SDM Kesehatan pada Sistem Kesehatan<br />
Nasional yang saat ini sedang dirancang, maka perencanaan sumber daya manusia<br />
kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik kebutuhan<br />
lokal, Nasional maupun global. Atas dasar ini maka Pembangunan Jangka Panjang<br />
Kesehatan Daerah adalah acuan utama dalam menyusun kebutuhan SDM Kesehatan.<br />
Kerja sama lintas program dengan pengelola program kesehatan dan kerja sama lintas<br />
sektor termasuk organisasi profesi, penyelenggara pelayanan, dan pengelola sarana<br />
merupakan mitra kerja yang perlu dibina sejak dari proses penyusunan proposal.<br />
Sudah barang tentu buku pedoman ini masih banyak kekurangannya, namun demikian<br />
diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan perencanaan SDM<br />
Kesehatan bagi pengelola SDM Kesehatan di setiap level pemerintahan.<br />
MENTERI KESEHATAN<br />
DR. ACHMAD SUJUDI<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. A Paradigm for Help : A Framework for New Public Health Action. Geneva, WHO,<br />
1991 ( Document EB 89/11 )<br />
2. Armstrong M. : a handbook of Personnel Management Practice.London, Kogan<br />
Page Limited, 1996.<br />
3. Departemen Kesehatan RI, Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi dan Kebijakan<br />
serta Strategi Pembangunan Kesehatan, Jakarta, 1999.<br />
4. Departemen Kesehatan, Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia<br />
Sehat 2010, Jakarta, 1999.<br />
5. Duncan,Ginter and Swyne : Strategic management of health care organization.2<br />
th ed.PH-USA, 1997<br />
6. Fitz Jac-Enz : The 8 practices of exceptional Companies ; How Great<br />
Organizations Make the most of their human assets.Amacom.Newyork-USA,1977.<br />
7. GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA TAHUN 1999 – 2004<br />
8. Global Health Situation : Analysis and Projection 1950 – 2025; A Health Future<br />
Trend, Assessment in support on Health for All. Division of HST, WHO, Geneva,<br />
1998 ( Document WHO/HST/98,3).<br />
9. Green Andrew : An introduction to Health Planning in Developing<br />
Countries.Oxford Med.Pub.UK , 1992<br />
10. Hall T, Human resources for Health : a tool kit for planning, training and<br />
management, WHO, Geneva, 1995.<br />
11. Hall T and Mejia. A, : Health Manpower Planning : Principles, Methods, Issues,<br />
Geneva, WHO, 1978<br />
12. Hapsara H.R Dr. DPH, Prinsip-prinsip Penyusunan Rencana Kebijakan dan<br />
Program Pembangunan Kesehatan, Jakarta 17 Januari 2000<br />
13. Hapsara, Habib Rahmat, Dr.DPH, Pemikiran Dasar Pembangunan Kesehatan,<br />
Filsafat dan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Sebagai Landasan Reformasi<br />
Bidang Kesehatan Menjelang dan Pada Abad Ke-21, Pidato Penerimaan :<br />
Penganugerahan Gelar Doctror Honoris Causa Dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat<br />
dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 28 Agustus 1999.<br />
14. Health Man Power Requirements for the Achievement of Health for Allby the<br />
Year 2000 Through Primary Health Care. WHO Technical Report No. 717 Geneva,<br />
World Health Organization, 1985.<br />
15. Hornby P et al, Guidelines for Health Manpower Planning: A Course Book,<br />
Geneva, WHO, 1980.<br />
16. Hunger David and Wheelen L.Thomas : Strategic Management 5 th ed. Addison<br />
WP.USA, 1996<br />
17. Kotler Philip and Clarke N.Roberta : Marketing for Health Care Organization.<br />
Prentice Hall,New Jersey, 1987.<br />
18. Kohles K.Mary et.al : Transformational Leadership.AHA-USA,1995.<br />
19. Katzenbach R.John & Smith K.Douglas : The Wisdom of Teams. Creating the<br />
high- performance organizations.FMB-New York,1994.<br />
20. Kepmenkes no. 1457 / menkes / SK / X / 2003 tentang SPM bidang kesehatan di<br />
kab / kota<br />
21. Keputusan MENKES No. 004 /Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi<br />
Desentralisasi Bidang Kesehatan.<br />
22. Keputusan MENKES No. 1277/MENKES/SK/XI/2001 tentang Organisasi dan Tata<br />
Kerja Departemen Kesehatan ;<br />
23. Keputusan Menkes No. 850/MENKES/SK/V/2000 tentang Kebijakan<br />
Pengembangan Tenaga Kesehatan tahun 2000 – 2010 ;<br />
24. Keputusan Menkes No. 979/MENKES/SK/IX/2001 tentang Protap Pelayanan<br />
Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi ;<br />
25. Keputusan Menkes No. 1357/MENKES/SK/XII/2001 tentang Standar Minimal<br />
Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan<br />
Pengungsi;<br />
26. Kepmenkes 558 Menkes / SK /VII/2002 tentang Pola karier PNS dijajaran<br />
kesehatan. Jakarta, 2002.<br />
27. Kepmenkes 976 / Menkes / SK / VIII / 1999 tentang DSP Puskesmas<br />
28. Kepmenkes 1202 / Menkes / SK / VIII / 2003 tentang Indikator Indonesia Sehat<br />
2010 dan pedoman penetapan indikator provinsi sehat dan kabupaten / kota<br />
sehat.<br />
29. Leeboy W.and.Cleva J.E : The Health Care Manageris Guide to Continous Quality<br />
improvement.AHA-USA, 1991<br />
30. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR Nomor<br />
IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004<br />
31. Mintzberg, Henry, The Rise and Fall of Strategic Planning, Reconceiving Roles for<br />
Planning Plan, Planners, New York, The Free Press, 1994.<br />
32. Naisbitt John and Patricia A : Ten New directions for the 1990’s Megatrend<br />
2000.1 st ed. Megatrend ltd,1990.<br />
33. Osborne David & Gaebler Ted. Reinventing Government.How the enterpreneurial<br />
spirit is transformating the public sector.USA,1992.<br />
34. Peraturan Pemerintah N0. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan<br />
(Lembaharan Negara Tahun 1996 No. 49, tambahan Lembaran Negara No.<br />
3637) ;<br />
35. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan<br />
Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom (Lembaran Negara Tahun 2000<br />
No.54, Tambahan Lembaran Negara No. 3952) ;<br />
36. Peraturan Pemerintah No.8 tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah<br />
37. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 2003 tentang Pedoman Pengangkatan,<br />
Pemindahan dan Pemberhentian PNS<br />
38. Rancangan Rencana Lima Tahun Reformasi Pembangunan Kesehatan 2000/2001<br />
– 2004/2005 Departemen Kesehatan, 1998.<br />
39. Ship, Peter J, Health Personnel Projections : The Methods and Their Uses, Report<br />
of a WHO project; Studies on Country Experiences, WHO, Switzerland, 1989.<br />
40. Ship, Peter J, Workload Indicator of Staffing Need (WISN) : A Manual For<br />
Implementation, WHO, Switzerland, 1998.<br />
41. Stace Doug & Dunphy Dexter : Beyond the Boundaries.Leading and Re-creating<br />
the .successful enterprise.Mc.Grawhill co.Sydney,1994.<br />
42. Stone.J.Raymond : Human Resource Management, 2 th ed.Jacaranda Wiley<br />
ltd.Sydney, 1995.<br />
43. Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran<br />
Negara Tahun 1999 No. 60, Tambahan Lembaran Negara No.3839) ;<br />
44. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara<br />
Tahun 1992 No. 100, Tambahan Lembaran Negara No. 3495) ;<br />
45. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta,<br />
1999.<br />
46. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangann Keuangan antara<br />
Pusat dan Daerah, Jakarta, 1999.<br />
47. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang<br />
Nomor 8 Tahun1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.<br />
48. WHO, Coordinated Health and Human Resources Development, Geneva<br />
Technical report Series 801, 1990.<br />
49. WHO, Health Man Power Projection : The Indonesian Experience, WHO Statistic<br />
Quarterly Vol. 37, No. 3. Geneva, 1984<br />
50. World Health Organization, Evaluation of the Implementation of the Global<br />
Strategy for Health For All by 2000, 1997 – 1996, A Selective Review of Progress<br />
and Constraints, WHO Geneva, 1998.<br />
51. Departemen Kesehatan RI, Sistem Kesehatan Nasional, Rancangan 20 Nopember<br />
2003, Jakarta 20 Nopember 2003.I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-24842763371992734912011-01-06T10:09:00.000-08:002011-01-06T10:09:12.633-08:00PENINGKATAN PRIMARY CARE MELALUI PENYIMPANAN DATA ELEKTRONIK DAN KOMUNIKASI ONLINEPENINGKATAN PRIMARY CARE MELALUI PENYIMPANAN DATA ELEKTRONIK DAN KOMUNIKASI ONLINE<br />Oleh : I Wayan Suardana; NPM : 0906594362<br /><br />Abstrak<br />Pelayanan kesehatan kesehatan primer melalui komunikasi online merupakan metode pelayanan kesehatan yang baik, karena aman, efektif dan efisien. Peningkatan pelayanan kesehatan primer dapat dilakukan dan mampu menjangkau tempat yang sangat jauh bila dilakukan melalui komunikasi online. Komunikasi secara online hanya dapat dilakukan apabila adanya Sistem Informasi dan Komunikasi yang memadai, terkoneksi, memiliki sistem dan software yang handal dan memiliki flatform sistem operasi yang sama antara provider kesehatan dengan pasien. Komunikasi secara online akan lebih mudah apabila pasien juga bisa mensharing informasi kesehatannya secara online. Salah satu syarat untuk mempermudah dalam mensharing informasi adalah dengan penyediaan alat penyimpanan data secara elektronik. Dengan sistem penyimpanan data secara elektronik seorang tenaga kesehatan dapat mengakses data yang sudah dibuka oleh pasien. Data yang tersimpan secara elektronik ini berisi semua data tentang identitas pasien, riwayat kesehatan, asuransi dan data lain yang memungkinkan pasien maupun tenaga kesehatan mudah melakukan pengambilan keputusan dan mengambil tindakan. Dengan demikian, peningkatan pelayanan keperawatan primer melalui komunikasi online akan semakin maksimal apabila didukung oleh adanya kemudahan dalam mensharing data melalui sistem pencatatan data elektronik.<br /><br />A Latar Belakang<br />Dewasa ini kemajuan teknologi informasi dan komunikasi/information and communication technology (ICT) yang berbasis komputer telah berkembang dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia kesehatan (Lee,2010). Bebagai aktivitas pelayanan keperawatan baik yang bersifat langsung seperti sistem billing, dokumentasi dan laporan, dan pelayanan keperawatan langsung seperti pemberian obat dan monitoring menjadi lebih mudah dan akurat berkat adanya teknologi informasi. <br />Sejumlah studi telah melaporkan adanya fenomena pedang bermata dua dari sistem informasi khususnya informasi klinik bagi tenaga kesehatan. Masih banyak tenaga kesehatan yang belum optimal dalam menggunakan ICT, sehingga sering berangapan penggunaan ICT masih dipaksakan dan belum waktunya ( Ash,et.al,2004 dalam Lee, 2010) Tenaga kesehatan masih banyak menenukan kendalam dalam menggunakan ICT sebagai akibat adanya permasalahan pada peralatan ( hard ware ), pengembangan soft ware yang digunakan maupun administrasi penggunaannya ( Darbyshire,2000;2004 )<br />Perawat merupakan tenaga kesehatam yang paling banyak berhubungan langsung dengan pasien, maupun perangkat pendukung pelayanan kesehatan sehingga diharapkan lebih menguasai ICT bila dibandingkan tenaga kesehatan lain ( Allen,2007). Dalam penggunaan ICT tidak terbatas pada saat pasien di rawat di ruangan. Makin berkembangnya ICT dan makin banyaknya pemilik ICT dan alat pendukungnya, makin luasnya area jangkauan ICT merupakan suatu tantangan dan sekaligus peluang dalam mendukung upaya pelayanan kesehatan bagi pasien.<br />Dengan adanya integrasi berbagai perangkat komputer dengan jaringan komunikasi, baik yang berbasis satelit, serat optik, kabel maupun broad band merupakan suatu peluang yang sangat besar bagi pelayanan kesehatan untuk meningkatkan cakupan pelayanan dengan tetap mempertahankan kualitas namun dilain pihak tetap memperhatikan cost. Selain itu hard ware dan jaringan yang didukung oleh berbagai sofware yang mendukung sistem pelayanan kesehatan merupakan hal yang diharapkan dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian pelayanan dasar bagi pasien-pasien yang berada pada jarak yang sangat jauh dari lokasi pelayanan kesehatan.<br />Pelayanan keperawatan primer merupakan pelayanan kesehatan yang menempatkan pasien dan tenaga kesehatan dalam suatu hubungan kerjasama yang saling membutuhkan. Secara ideal pasien seharusnya memanfaatkan hubungan ini untuk melakukan perubahan perilaku dalam rangka meningkatkan kualitas hidup ( Dixon,2010 )<br />Peranan ICT dalam pelayanan keperawatan primer yang paling penting adalah penyediaan data kesehatan secara elektronik, sehingga data semakin mudah diakses. Coba dibayangkan kalau kita tiba-tiba sakit disuatu daerah dengan jarak ribuan kilometer, bagaimana seorang tenaga kesehatan bisa mendapatkan data untuk mengetahui berbagai hal terkait kesehatan pasien sebelumnya. Kondisi ini akan lebih mudah apabila data kesehatan sudah ada dalam suatu tempat ( server ) atau chip yang bisa dibuka dengan menggunakan password yang diketahui pasien. <br />Sistem penyimpanan data secara elektronik memungkinkan pasien dan tenaga kesehatan dapat membuka data dimana saja, data akan dapat dilanjutkan dan seorang pasien tidak perlu datang ke suatu tempat pelayanan kesehatan tertentu hanya untuk mendapatkan data ( Dixon,2010).<br />Program penyimpanan data elektronik dan sistem pelayanan kesehatan primer secara online merupakan dua hal yang sangat penting yang perlu mendapat perhatian. Perhatian dari pemerintah sangat penting, karena menyangkut regulasi, instansi pelayanan kesehatan menyangkut penyediaan hardware dan administrasi, pengembang sofware menyangkut program, maintenance, continuity dan sinkronisasi dengan berbagai sistem maupun vendor yang akan menyediakan layanan jaringan maupun penyimpan data begitu juga dengan asuransi karena terkait dengan sistem jaminannya.<br />Dalam rangka pengembangan sistem penyimpanan data kesehatan elektronik dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan primer secara online, perlu diperhatikan keefektivan dari sistem dan proses, standar dan protokol penggunaan secara jelas untuk mendapatkan peningkatan hasil dan meningkatkan pasien safety ( Mason, Leavitt & Chaffee,2007).<br />B. Kajian Literatur<br />Konsep adalah sejumlah kajian yang digunakan untuk menganalisa urgensi dari sistem penyimpanan data kesehatan secara elektronik dan pelayanan kesehatan primer melalui komunikasi secara online.<br />1. Konsep penyimpanan data elektronik<br />Sistem penyimpanan data elektronik adalah suatu sistem yang digunakan untuk menyimpan data demografi, emergency contact, asuransi, informasi tentang penyakit dan riwayat tindakan yang telah didapatkan, affiliasi spiritual, riwayat medis, alergi, riwayat laboratorium, imunisasi, riwayat bedah dan riwayat dirawat dirumah sakit ( Krummen,2010) dalam bahan penyimpanan dalam bentuk magnetik, maupun mode elektronik tertentu yang bisa dibuka dengan suatu program komputer.<br />The American Academy of Nursing ( AAN) pada tahun 2008 mengeluarkan sebuah konsensus bahwa perlu dilakukan tranformasi dalam hubungan antara pasien dan rumah sakit. Kerjasama ini dilakukan dalam rangka meningkatkan keamanan, peningkatan kualitas yang berorientasi pada pasien. Perluasan sistem, teknolgi yang terintegrasi dan kerjasama yang erat antara arsitek, vendor, perawat, dokter, laboratorium, farmasi dan caregiver dalam segala aspek dalam rangka mendesain ruang kerja dan teknologi untuk memastikan ITC dapat digunakan sesuai kebutuhan pasien (Krummen,2010).<br />Sistem penyimpanan data elektronik masuk dalam rumpun Health Information Technology (HIT),memiliki andil yang sangat besar dalam meningkatkan keamanan, keefektifan dan efisiensi dalam pelayanan kesehatan. Hampir 80% medical error dapat dihindari dengan penyimpanan data elektronik (Simpson,2003). Deese & Stein,2004 melaporkan adanya pengurangan waktu 50% dari dalam hal penemuan data bila dibandingkan dengan cara konvensional. Sistem penyimpanan data elektronik dapat mengurangi 1,5 jam waktu per perawat dalam 12 jam. Penyimpnan data elektronik mengurangi kasus kematian dan injury pada pasien karena perawat memiliki waktu lebih banyak bersama pasien.<br />Penyimpanan data elektronik dapat memperjelas komunikasi antar disiplin tenaga kesehatan. Namun dalam beberapa studi masih dijumpai masalah dalam penggunaan elektronik health record yakni adanya data yang tidak lengkap dan tidak akurat serta adanya copy paste data (Brandt,2008). <br />Sistem penyimpan data elektronik yang telah banyak digunakan sebagian besar identifikasinya menggunakan kartu yang menggunakan bar code. Secara nyata sistem penyimpanan data elektronik dapat mengurangi biaya dan ruang penyimpanan, keuntungan yang tidak nampak berupa mampu mencegah kesalahan tindakan, mengurangi risiko dan hal lain yang sifatnya kebijakan (Catalano & Fickenscher,2008).<br />Sistem penyimpanan data elektronik kesehatan sebaiknya dibuat terintegrasi dengan berbagai disiplin ilmu. Hal ini akan memungkinkan setiap komponen bisa bekerjasama dan saling melengkapi dalam upaya memberikan pelayanan yang lebih baik.<br />Adanya beberapa tanggapan yang kurang mendukung terhadap penggunaan alat penyimpan data elektronik, terkait dengan keberadaan kartu, kelengkapan data, aspek legal, keakuratan program, kontinuitas pengisian data pada pasien dengan penyakit kronis dan penanganan pasien yang dirawat melebihi batas waktu perawatan. Menurut Barnard & Sandelwoski (2001) dapat mengakibatkan dehumanisasi, depersonalisasi, dan menjadikan pasien sebagai obyek. Selain itu adanya keluhan berupa adanya perawat yang tidak mahir menggunakan IT, adanya tanggapan bahwa IT dapat merusak akar dari missi keperawatan berupa perilaku caring. Adanya kekhawatiran terkait adanya kemungkinan crash akibat penggunaan yang overload dalam suatu waktu, keterbatasan aplikasi komputer dari tenaga kesehatan dan kemampuan interface dari data ke sistem yang lain. <br />Sejak tahun 2004, Rothman Healthcare Corporation telah mengembangkan suatu model Patient Condition Tracker untuk menjebatani masalah dalam perawatan pasien secara terus menerus. The Patient Condition Tracker menggunakan pencatatan data elektronik yang dapat mendisplai perkembangan perkembangan kesehatan pasien. Kondisi pasien dapat dilaporkan dan di update secara reguler dengan pemberian secara informasi tentang vital signs, nursing assessments, and laboratoty results dalam bentuk grafik yang mudah dipahami. <br />Penggunaan sistem penyimpanan data secara elektronik dapat diaplikasikan dalam bentuk kartu atau chip dengan dasar sistem kemagnetan maupun transistor yang dapat dibukan dengan sistem operasi komputer tertentu.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Dari sistem penyimpanan data eletronik diatas dapat dilihat sistem BARCODE, dimana dalam Barcode dapat diisi dengan beberapa komponen untuk validasi pembukaan data pasien antara lain: Nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, pendidikan, pekerjaan, alamat, email, jenis asuransi dan tanda khusus. <br />Kartu ini dapat dipindai menggunakan alat pindai barcode selanjutnya selanjutnya setelah matching, data tentang kesehatan pasien akan dapat dibuka. Data yang sudah dibuka selanjutnya dapat digunakan untuk melihat riwayat kesehatan dan memasukkan data kesehatan saat ini.<br />Dilain pihak adanya pernyataan dari pasien bahwa sistem penyimpanan data elektronik dapat meningkatkan kepercayaannya tentang keamanan data maupun fleksibilitas penggunaannya. <br />2. Konsep pelayanan kesehatan melalui komunikasi primer secara online<br />Sistem pelayanan kesehatan melalui komunikasi online sudah banyak digunakan dalam berbagai jenis industri jasa seperti perbankan, travel, retail. Sistem online dapat digunakan untuk mengetahui berbagai berbagai macam transaksi bisnis secara lebih cepat, efektif dan efisien (Dixon,2010). <br />Dalam bisnis pelayanan kesehatan pengembangan model ini masih sangat terbatas, padahal bisinis pelayanan kesehatan merupakan bisnis yang sangat besar dan berkembang dengan sangat cepat. Secara umum hinga saat ini, penggunaan sistem komunikasi online dan pemanfaatan teknologi masih sangat terbatas. Hanya 4% tenaga kesehatan di Amerika menggunakan sistem teknologi informasi yang berkesinambungan penyimpanan data elektronik secara penuh, meskipun secara umum pemegang kebijakan di pemerintahan sangat mendukung penggunaan sistem pelayanan online.<br />Pelayanan dengan sistem online sangat cocok digunakan dalam pelayanan primer, karena sistem ini tidak terlalu rumit, masalah yang ditangani sederhana dan dampak/risiko yang mungkin timbul tidak terlalu berat. Dalam kasus-kasus yang memerlukan tindakan skunder dan penatalaksanaan yang lebih spesialistik dan tidakan kompleks model pelayanan kesehatan dengan sistem online kurang tepat, kecuali untuk data sharing dengan tempat pelayanan kesehatan lain.<br />Pemberian pelayanan primer dapat dilakukan pada pasien pasca dirawat di rumah sakit, namun memiliki masalah terhadap assesibilitas terhadap pelayanan kesehatan, baik karena faktor jarak, waktu, biaya, maupun kondisi fisik pasien. Komunikasi online juga sangat tepat dilakukan pada semua kasus yang tidak memerlukan pelayanan skunder lain. Pasien dan tenaga kesehatan di rumah sakit dapat melakukan konsultasi, diskusi dan confrence secara langsung. <br />Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam sistem pelayanan kesehatan online adalah (Dixon,2010):<br />a. Sistem pembayaran: dalam sistem konvensional pembayaran dilakukan dengan cara menghitung jumlah kunjungan, namun dengan sistem baru masih sangat sulit menentukan standar pembayaran dan cara pembayaran.<br />b. Keterbatasan alat teknologi dan komunikasi : kemungkinan tidak adanya integrasi antara sistem yang digunakan oleh pasien maupun provider sehingga dapat mempengaruhi kualitas proses, maupun privacy pasien<br />c. Manajemen penyakit kronis : kecenderungan penyakit kronis menjadi semakin banyak, namun dengan penggunaan sistem pelayanan kesehatan online penderita penyakit kronis sebenarnya memerlukan tindakan khusus sehingga tidak mungkin hanya menggunakan sistem online. <br />Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan perlu dilakukan beberapa modifikasi teknologi adalah:<br />a. Perlunya pembuatan portal : pembuatan portal dalam bentuk website dapat memberikan jaminan terhadap keamanan pasien. Portal ini hendaknya dioperasikan oleh teknisi yang memahami teknologi informatika maupun menguasai teknis pelayanan kesehatan. <br />b. Penambahan komponen pada sistem ICT yang kita miliki agar bisa compatible dengan berbagai sistem yang digunakan oleh vendor, sehingga sistem kita bisa sinkron dengan sistem yang ada.<br />c. Adanya training yang cukup dalam penggunaan sistem informasi secara online untuk menghindari kesalahan intepretasi dan pangambilan keputusan.<br />d. Adanya kesempatan untuk melakukan melakukan konsultasi dan diskusi secara online.<br />e. Tersedianya berbagai informasi yang dapat digunakan untuk pendidikan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kesehatan pasien.<br />Sebagai contoh seseorang yang menderita DM setelah melakukan pengecekan gula darah menemukan adanya penurunan kadar gula darah yang melebihi standar, maka penderita dapat menggunakan PDA untuk mendapatkan informasi terkait makanan dan diet yang sesuai.<br />f. Melakukan virtual visit dapat dilakukan dengan video confrence dengan menggunakan fasilitas web cam yang ada.<br />g. Remote monitoring merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang berisi sistem otomatis alert yang bertujuan mengingatkan pasien agar melakukan kontrol sesuai dengan masalah yang dihadapi.<br /><br />3. Diskusi<br />Berdasarkan konsep sistem penyimpanan data elektronik dan teori tentang sistem pelayanan primer melalui komunikasi online dapat dilakukan beberapa analisa. Sistem pelayanan primer melalui komunikasi secara online, merupakan ide yang sangat baik, ditengah makin penuhnya tingkat hunian rumah sakit dan makin mahalnya biaya transportasi. Dilain pihak kemajuan sistem teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu peluang yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi pasien. Sistem informasi dan komunikasi online, memang tidak mampu membantu semua upaya pelayanan kesehatan, sehingga model ini sangat tepat digunakan dalam upaya pelayanan kesehatan primer yang bersifat sangat mendasar. <br />Sistem pelayanan primer dengan sistem komunikasi online akan dapat berjalan dengan baik apabila antara pasien dan tenaga kesehatan berada pada satu platform sistem komunikasi. Dengan adanya kesamaan sistem akan mampu mempermudah sinkronisasi kerja dari sistem teknologi yang digunakan oleh provider kesehatan dengan pasien. Komunikasi dalam sistem pelayanan primer secara online dapat dilakukan oleh pasien dengan perawat, dokter, gizi dan tenaga kesehatan lain. Materi yang dikomunikasikan dapat berupa perkembangan kesehatan saat ini, konsultasi terkait adanya perubahan pada kualitas kesehatan dan konsultasi atas hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan. <br />Proses ini akan lebih mudah apabila pasien dapat memberikan informasi tentang berbagai hal mengenai catatan kesehatannya. Secara umum record tentang kesehatan pasien biasanya tersimpan di rumah sakit. Catatan kesehatan hanya bisa dibuka apabila diambil oleh pasien untuk kepentingan pengobatan, atau pihak lain untuk kepentingan hukum, namun dengan sepengetahuan pasien. Kondisi ini hanya dapat terjadi apabila pasien datang langsung ke rumah sakit. Bagaimana jika pasien tidak bisa datang ke rumah sakit tersebut ? Apakah riwayat kesehatan pasien bisa dibuka ? Jawabannya tentu tidak, karena tidak mungkin ada sistem otorisasi yang memungkinkan orang lain membuka file rekam kesehatan pasien. Bagaimana jika pasien harus melakukan konsultasi secara online apakah tenaga kesehatan bisa mengambil keputusan dengan tepat tanpa didukung data kesehatan yang akurat ? Bagaimana jika pasien harus dirawat dirumah oleh perawat home care ? Dimana perawat dapat mengakses riwayat dan record tentang pelayanan kesehatan yang telah didapatkan pasien secara akurat ? Begitu juga seandainya pasien harus dirawat dirumah sakit lain, bukankah pasien harus melakukan pemeriksaan dari awal lagi ?<br />Semua kekhawatiran itu akan terjawab apabila sistem pelayanan kesehatan primer melalui komunikasi online dan rujukan dilengkapi dengan sistem pencatatan data kesehatan secara elektronik. <br />Kartu penyimpanan data kesehatan elektronik otorisasinya dapat dilakukan oleh pasien baik dengan menggunakan PIN, Barcode, pindai retina atau cara lain yang dianggap paling aman dan praktis sesuai dengan kondisi sistem teknologi dan informasi yang ada. <br />Dalam kartu berisi berbagai data terkait identitas pasien, asuransi, data kesehatan dan data lain yang penting untuk identifikasi kesehatan. Apabila dibuka dengan otorisasi pasien, secara langsung akan dapat membuka seluruh catatan kesehatan pasien dan sekaligus bisa terhubung secara langsung dengan sistem asuransi pasien. Dengan adanya integrasi ini, maka seorang pasien akan dapat mengkomunikasikan berbagai masalah kesehatan secara online, mensharing data kesehatannya dengan konsultan dan membayar konsultasi dengan asuransi. Dilain pihak pasien secara langsung mendapatkan simpanan data tambahan terkait tindakan kesehatan terakhir yang dilakukan. <br /><br />4. Kesimpulan<br />Dari diskusi yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem penyimpanan data kesehatan elektronik merupakan sistem penyimpanan data dalam perangkat yang berbasis magnetis maupun transistor dalam bentuk kartu. Sistem penyimpanan data kesehatan elektronik sangat penting dikembangkan untuk meningkatkan akses pasien terhadap data kesehatannya sehingga dapat digunakan setiap waktu. Sistem pelayanan kesehatan primer melalui komunikasi online merupakan model yang sangat tepat dikembangkan, karena pasien dapat menikmati pelayanan kesehatan tanpa harus datang ke tempat pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan primer secara online akan dapat berjalan dengan baik apabila komunikasi antara pasien dan tenaga kesehatan, didukung oleh akurasi data kesehatan dari pasien yang bisa diakses melalui kartu penyimpan data kesehatan elektronik.<br /><br />Daftar Pustaka<br />Attributes. (2010). In Merriam-Webster Online Dictionary. Retrieved January 25, 2010, from http://www.merriam Webster.com/dictionary/<br /><br />Barnard,A. & Sandelowski, M. (2001). Technology and humane nursing care: Irreconcilable or invented differences? Journal of Advanced Nursing. 34(3), 367-375.<br /><br />Barry, P. (2008). AARP bulletin today: Your health. Retrieved April 28, 2008, from http://bullitenaarp.org.<br /><br />Bungard, B. (2008). Use of process mapping in transitioning to an electronic medical record. CIN: Computers, Informatics, Nursing. 26(5), 303.<br /><br />Catalano, K. & Fickenscher, K. (2008). Association of perioperative registered nurses: Complying with the 2008 national patient safety goals. 87(3). 547-556.<br /><br /> Dixon.2010. Enhanching primary care through online communication. http://www.proquest.com.pdqwed.pdf/021fb8de131567a024da31062cf06bcc/1288032301//share4/pqimage/pqirs104v/201010251415/00613/1000/out.pdf Journal Health Affairs. Juli 2010.Vol 29Iss. 7; p. 1364<br />Krunmen 2010. The impact of the electronic medical record on patient safety and care. Highland Heights. College of Health Profession. Kentucy.<br /> Lee Seon ah. 2010. Clinical information system quality information tool for nursing care service. Thesis. University of Illionis at Chicago. Chicago.I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-17195454832374685612010-10-10T09:10:00.001-07:002011-01-06T09:59:23.988-08:00FILM LANJUT USIA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><object height="266" id="BLOG_video-FAILED-0" class="BLOG_video_class" contentid="FAILED" width="320"></object></div>I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-65558795399932408742010-10-10T09:06:00.000-07:002010-10-10T09:06:43.239-07:00ANALISIS PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA MENURUT TEORI SOCIAL LEARNINGANALISIS PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA DITINJAU<br />
DARI KONSEP SOCIAL LEARNING<br />
<br />
A. Merokok Pada Remaja Dari Konsep Social Learning<br />
Berapa sumber merekomendasikan bahwa Social Learning Theory dari Bandura dapat membantu dalam melakukan analisa terhadap berbagai kasus-kasus perilaku adiksi seperti merokok, alkohol dan ketergantungan obat. Cacatan sederhana tentang pemberian reward dan hukuman terhadap diri mereka merupakan suatu hal yang dapat menjelaskan tentang kenapa prilaku adiksi bertahan dan berlangsung secara terus menerus. Para perokok pemula biasanya akan merasakan kering dan rasa terbakar pada tenggorokan pada saat pertama kali menghisap rokok. Kenapa mereka merokok lagi? Jawaban dapat diketahui dengan menggunakan theory Social Learning Theory ; dimana pembelajaran dilakukan melalui observasi oleh remaja terhadap orang tuanya, teman sebaya, gambaran tentang perokok di media televisi, dan perokok yang lain. Konsekwensi dari observasi ini memberikan gambaran yang positif terhadap perilaku merokok yakni, karena dengan merokok seseorang tampak lebih dewasa, lebih jantan dan lebih atraktif. Penilaian positif ini mengalahkan kesan negative dari dampak awal merokok.<br />
Secara umum adiksi terjadi akibat ketidakmampuan menahan akibat efek dari withdrawal sehingga memaksa mereka harus mengkonsumsi zat-zat adiktif tersebut. Disisi lain obsevasi dan dukungan sosial menjadi salah satu penyebab kenapa seseorang bisa mengalami adiksi. Pada remaja, kejadian adiksi lebih banyak diakibatkan oleh pengaruh kuat dari kelompok/teman sebaya. Kelompok social menjadi kekuatan social yang dapat mempengaruhi kebiasaan merokok pada remaja. Gabungan factor belajar observasi dan dan dukungan sosial merupakan factor yang paling berpengaruh terhadap kejadian merokok ( Hunter,Viselberg & Berenson,1991 dalam Mazur,1994). <br />
Dengan demikian dapat disimpulkan masalah merokok pada remaja merupakan bentuk masalah kesehatan yang bukan saja disebabkan oleh perilaku remaja perokok tersebut, akan tetapi sangat dipengaruhi banyaknya paparan untuk melakukan observation learning, dan kekuatan luar berupa dukungan social. Observation learning dapat dilakukan oleh remaja terhadap idola (artis),public figure, orang tua, guru, teman sebaya dan anggota masyarakat dewasa lainnya. Semakin banyak orang-orang yang merokok di sekeliling remaja, semakin besar kemungkinan remaja belajar dan mengimitasi perilaku merokok, sehingga angka kejadian merokok akan semakin meningkat. Media informasi seperti televisi, radio, spanduk, billboard dan umbul-umbul merupakan media yang memperkuat pembelajaran observasi yang dilakukan.remaja sehingga semakin meyakinkan remaja, sehingga menjadi penguatan bagi proses observasi. Banyak even remaja, bahkan dunia pendidikan, menggunakan produk rokok sebagai sponsor ini merupakan bentuk dukungan social yang menguatkan citra merokok sebagai bagian dari gaya hidup. Peraturan pemerintah tentang larangan merokok dan undang-undang tentang rokok sebenarnya sudah ada, serta hari khusus tanpa tembakau yang dicanangkan pemerintah sudah diberlakukan, namun belum ditegakkan dan belum diberlakukan secara efektif sehingga belum mampu menurunkan jumlah angka perokok di Indonesia.<br />
Angka kejadian merokok masih cukup tinggi, yakni sebanyak 28% dari seluruh angka merokok (13%) dari seluruh remaja. Sebagian besar proses merokok ditemukan pada anak-anak SMP. Angka ini sangat terkat dengan tumbuh kembang remaja, dimana fase pencarian jati diri berawal dari saat awal menginjak masa remaja yakni SMP. Kemungkina kedua adalah disebabkan oleh belum matangnya psikologis remaja SMP sehingga saat menggunakan rokok pertama kali hanya didasarkan pada keinginan tanpa analisa yang lebih dalam. Kemungkina ketiga adalah banyak anak-anak lulusan SMP yang perokok tidak mampu melanjutkan pendidikan akibat kemiskinan dan beban biaya oleh anak atau keluarga lebih banyak digunakan untuk membeli rokok.<br />
Dengan melihat kondisi tersebut, maka kelompok remaja yang cocok dijadikan sasaran asuhan keperawatan kesehatan komunitas adalah untuk mengatasi masalah-masalah merokok pada remaja adalah anak-anak sekolah menengah pertama.<br />
<br />
<br />
B. Askep Komunitas Dengan Model Social Learning Bandura<br />
1. Pengkajian<br />
Pengkajian komunitas merupakan langkah pertama dalam membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan memfokuskan pengkajian pada masalah kesehatan. Pengkajian dilakukan terhadap riwayat dan kondisi saat ini yang mempengaruhi kesehatan masyarakat atau kelompok tertentu. Pengkajian keperawatan komunitas pada kelompok remaja perokok bisa dilakukan melalui pendekatan institusi, yakni sekolah atau kelompok karang taruna. Pengkajian yang dilakukan mengacu pada konsep “ Social Learning Bandura “ meliputi:<br />
a. Data umum kelompok<br />
1) Nama kelompok :<br />
2) Jumlah anggota kelompok<br />
3) Jenis kelamin kelompok<br />
4) Umur kelompok<br />
5) Pendidikan kelompok<br />
6) Kondisi kelompok<br />
7) Struktur organisasi kelompok<br />
<br />
b. Observation<br />
1) Jumlah anak yang merokok<br />
2) Umur anak yang merokok<br />
3) Jenis kelamin anak yang merokok<br />
4) Apakah ada orang tuanya yang merokok<br />
5) Berapa orang yang orang tuanya merokok<br />
6) Apakah ada saudaranya yang merokok<br />
7) Berapa orang yang saudaranya merokok<br />
8) Apakah ada teman sebayanya yang merokok<br />
9) Berapa orang yang teman sebanya merokok<br />
10) Dari mana anak melihat orang merokok<br />
a) Orang tua<br />
b) Teman<br />
c) Saudara<br />
d) Guru<br />
e) Pegawai sekolah<br />
f) Film<br />
g) Iklan televise<br />
h) Publik figure<br />
i) Artis<br />
j) Spanduk<br />
k) Umbul-umbul<br />
l) Billboard<br />
m) Iklan di kendaraan umum<br />
11) Urutkan dari yang paling berkesan hingga tak terlalu berkesan yang mengilhami anda merokok<br />
12) Apakah ada guru yang merokok<br />
13) Berapa orang guru yang merokok di sekolah saudara<br />
14) Urutkan dari yang paling sering hingga yang paling jarang orang yang sering diajak merokok bersama<br />
a) Teman sebaya<br />
b) Saudara<br />
c) Orang tua<br />
d) Guru<br />
e) Anggota masyarakat lain<br />
15) Apakah saudara gampang mendapat rokok<br />
16) Darimana saudara mendapat uang untuk membeli rokok<br />
17) Siapa yang paling sering memberikan saudara rokok<br />
18) Berapa jarak pedagang rokok dengan sekolah saudara<br />
19) Berapa jarak pedagang rokok dengan rumah saudara<br />
20) Apa acara yang pernah saudara lakukan disponsori oleh rokok<br />
21) Apa yang saudara bayangkan tentang diri saudara saat merokok<br />
22) Apakah saudara tahu dampak merokok<br />
23) Sebutkan sebanyak-banyak dampak merokok bagi kesehatan<br />
24) Apakah ada peraturan dilarang merokok di sekolah saudara<br />
25) Apa yang saudara fikirkan tentang peraturan tersebut<br />
26) Apakah saudara kena sangsi<br />
27) Apakah saudara pernah diperingatkan guru saat merokok<br />
28) Apakah saudara pernah diperingatkan teman saat merokok<br />
29) Apakag saudara pernah diperingatkan orang tua/saudara saat merokok.<br />
<br />
Dari pertanyaan diatas tergambar data-data yang harus dikaji terkait faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar observasi pada remaja yang dapat menjadi prekusor mendorong remaja melakukan aktivitas mencoba-coba rokok. Faktor yang mendukung observation learning dalam merokok dapat berupa teman sebaya, anggota keluarga, orang tua, guru, artis, public figure, media dan kegiatan yang disponsori oleh perusahaan rokok. Seberapa banyak, seberapa sering dan seberapa kuat factor-faktor tersebut berkontribusi akan terjawab apabila data-data yang dikumpulkan dianalisis. Kondisi belajar observasi diperkuat oleh adanya dukungan-dukungan social yang memudahkan melakukan observasi baik dalam bentuk kemudahan mencari rokok maupun keberadaan peraturan dan penegakan peraturannya.<br />
<br />
c. Imitation<br />
Imitasi adalah suatu bentuk periku baru yang tercipta sebagai hasil proses observasi. Imitasi dapat berkembang menjadi bentuk perilaku baru yang permanen atau bisa juga hilang tergantung dari kemampuan menimbang, menganalisis dan dukungan factor internal dan social dari seseorang. Data tentang imitasi dalam pengkajian perilaku merokok adalah<br />
1) Kapan saudara mulai merokok<br />
2) Apa jenis rokok yang pertama kali saudara hisap ( kretek/filter)<br />
3) Apa merek rokok yang saudara hisap pertama kali<br />
4) Kenapa saudara menghisap rokok tersebut<br />
5) Siapa yang pertama kali mengajak saudara merokok<br />
6) Dimana saudara pertama kali merokok<br />
7) Apa perasaan yang tidak enak yang saudara rasakan saat pertama kali merokok<br />
8) Apa perasaan yang paling menyenangkan yang saudara rasakan saat pertama kali merokok<br />
9) Berapa jumlah rokok yang saudara hisap saat pertama kali merokok<br />
10) Bagaimana respon teman/saudara/bapak yang telah member saudara rokok pertama kali<br />
11) Kenapa sampai saat ini saudara masih tetap merokok<br />
12) Apa yang saudara bayangkan tentang diri anda saat anda merokok<br />
13) Bagimana saudara melihat teman-teman sesame perokok<br />
14) Bagaiman saudara melihat teman-teman yang tidak merokok<br />
15) Apakah saudara pernah punya keinginan untuk berhenti merokok<br />
16) Kenapa tidak bisa melakukannya<br />
17) Apakah pernah terfikir untuk mengajak orang lain merokok<br />
18) Kenapa saudara memiliki fikiran itu<br />
19) Bagaimana perasaan saudara setelah melihat iklan, penyanyi, teman dan orang tua yang merokok <br />
20) Bagaimana perasaan saudara melihat tanda larangan merokok<br />
21) Apakah di dekat sekolah saudara mudah membeli rokok<br />
22) Apakah di dekat rumah saudara gampang membeli rokok<br />
23) Kapan saudara biasanya paling banyak merokok<br />
a) Saat stress<br />
b) Saat bersama teman<br />
c) Saat setelah makan<br />
d) Saat menonton<br />
24) Berapa batang jumlah rokok yang saudara hisap dalam sehari<br />
<br />
Dari pertanyaan-pertanyaan diatas akan tergali prilaku-prilaku yang menggambarkan suatu bentuk imitasi dari hasil hasil observasi yang dilakukan. Data tentang imitasi ini menunjukkan kecenderungan pola perilaku yang sudah terbentuk dari hasil perilaku belajar observasi yang telah dilakukan sebelumnya. Sama tidaknya, kuat lemahnya karakter perilaku yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kekuatan proses belajar observasi dan dukungan dan lingkungan sekitar. Imitasi yang permanen akan menghasilkan pola perilaku yang mengarah ke pembentukan model. Modeling akan terjadi dengan baik apabila selama imitasi terjadi upaya memperhatikan dengan benar prilaku model ( attention process). Bentuk perilaku yang diperhatikan saat merokok antara lain cara menghidupkan rokok, gaya memegang, saat menyedot, ekpresi saat mengisap rokok, cara meletakkan, cara mematikan dan cara membuang punting. Selain itu bagaimana penampilan orang yang merokok juga menjadi kekuatan dalam member perhatian. Kemampuan menyimpan informasi dengan baik (retention process), terkait fakor yang menguatkan juga memperkuat proses imitasi. Wujud hasil awal imitasi berupa perilaku baru ( motor reproductive process) yang akan semakin baik melalui latihan. Hasil imitasi akan bersifat permanen dan berkembang kearah modeling apabila mendapat motivasi/penguatan ( motivation).<br />
<br />
d. Model<br />
Tidak semua hasil imitasi menjadi perilaku yang bersifat permanen. Perilaku menjadi permanen apabila telah melewati tahap Self Observation yakni menilai apakah perilaku kita sesuai dengan yang diharapkan, seperti tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, tidak bertentangan dengan norma atau harapan lainnya. Tahap judgment juga sangat penting, karena pada tahap ini mencoba melakukan perbadingan antara perilaku merokok dengan standar kebanyakan. Jika sebagian besar lingkungan kita mengangap merokok sebagai hal yang baik maka kita akan ikut standar tersebut. Self Response yakni penilaian dan penghargaan terhadap diri sendiri terkait perilaku merokok yang kita lakukan. Kalau merokok sebagai salah satu bentuk penghargaan bagi diri sendiri sebagai laki-laki sejati maka perilaku merokok akan menjadi modeling yang permanen.<br />
Pertanyaan terkait dengan modeling antara lain:<br />
1) Berapa batang jumlah rokok yang dihisap setiap hari<br />
2) Apa jenis rokok yang dihisap (kretek/filter)<br />
3) Kapan saudara mengisap rokok lebih banyak<br />
a) Saat stress<br />
b) Saat bekerja<br />
c) Saat berdiskusi<br />
d) Setelah makan<br />
e) Saat menonton<br />
f) Saat dingin<br />
4) Bagimana respon saudara jika terlambat/tidak mendapat rokok<br />
5) Bagaimana perasaan saudara saat dan setelah menghisap rokok<br />
6) Apakah saudara tidak takut terhadap dampak merokok<br />
7) Berapa banyak uang yang saudara keluarkan untuk membeli rokok selama sebulan <br />
8) Bagaimana pandangan saudara teradap larangan merokok<br />
9) Apakah saudara punya kelompok/group perokok<br />
10) Dimana biasanya saudara merokok bersama-sama<br />
<br />
<br />
<br />
e. Sef Efficacy<br />
Dorongan dan motivasi internal sangat mempengaruhi keberhasilan perubahan perilaku :<br />
Pertanyaan terkait Self Eficacy<br />
1) Apakah saudara sungguh-sungguh mau berubah<br />
2) Apa yang mendorong ingin berubah<br />
3) Apakah kira-kira yang membuat saudara sulit berubah<br />
<br />
2. Diagnosa<br />
Langkah dari penetapan diagnose keperawatan berawal dari analisis data. Langkah analisis meliputi klasifikasi, intepretasi dan validasi data. Diagnosa keperawatan komunitas merupakan suatu penyataan tentang situasi kondisi dari masyarakat baik actual, risiko, poetensial maupun wellness. Memang hingg saat ini belum ada model diagnose yang khusus dikembangkan untuk komunitas sehingga masih mengacu pada Omaha system yang dikembangkan dari konsep diagnose NANDA (Helvie,1998). Dignosa keperawatan yang khusus dikembangkan oleh Bandura tidak ada sehingga dapat mengacu pada diagnose NANDA. Contoh diagnosanya antara lain:<br />
a. Perubahan perilaku merokok pada remaja di sekolah A ditandai dengan………<br />
b. Potensial peningkatan prilaku tidak merokok pada remaja di sekolah B….<br />
<br />
3. Perencanaan<br />
Perencanaan tindakan berawal dari penetapan prioritas masalah. Penetapan prioritas masalah dapat dilakukan dengan penggunaan scoring dengan pemberian penilaian pada variable a) Perhatian masyarakat terhadap masalah tersebut b) sumber daya yang tersedia untuk mengatasi masalah tersebut c) Kemudahan untuk mengatasi masalah d) sumberdaya lain dan dukungan kebijakan lain yang dibutuhkan. Cara lain dengan menggunakan Hanlon’s skala prioritas model melalui:<br />
a. Menariknya dan tingginya perhatian terhadap masalah tersebut<br />
b. Keganasan dari penyakit<br />
c. Penguasaan pengetahuan terhadap masalah yang dihadapi<br />
d. Ketersediaan sumber daya<br />
e. Kesiapan penduduk untuk melkasanakan program tersebut.<br />
Setelah prioritas ditetapkan lalu disusun rencana asuhan keperawatan komunitas. Rencana asuhan komunitas yang sesuai untuk mengatasi masalah merokok pada remaja meliputi:<br />
a. Kegiatan promotif dengan mengurangi risiko adanya/masuknya kesempatan melakukan “ Observation learning “<br />
1) Lomba poster, slogan, spanduk, leaflet anti rokok<br />
2) Lomba pidato dan mengarang tentang akibat rokok<br />
3) Memasang peringatan dan membuat peraturan area sekolah bebas rokok<br />
4) Membentuk kelompok-kelompok anti rokok<br />
5) Memutar film tentang akibat merokok<br />
6) Memberikan reward kelompok ant rokok<br />
7) Kerjama dengan Pemda dalam membuat Perda larangan rokok dan iklan rokok serta aktivitas dengan sponsor rokok, serta membangun tempat-tempat khusus merokok.<br />
8) Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan aturan<br />
9) Memberikan reward terhadap keberhasilan perubahan yang telah diraih.<br />
<br />
b. Kegiatan Preventif ( Mencegah terjadinya Observation learning)<br />
1) Sweping rokok secara kontinyu<br />
2) Membuat area bebas rokok dengan radius 200 meter dari sekolah<br />
3) Membersihkan lingkungan dalam radius 1 km dari sekolah dari iklan rokok.<br />
4) Memantau kegiatan kelompok siswa<br />
5) Memantau anggota keluarga yang merokok<br />
6) Meningkakan kegiatan ekstra yang mendukung aktifitas positif siswa<br />
7) Pemberian hukuman bagi siswa yang kedapatan membawa dan merokok.<br />
<br />
<br />
c. Kuratif ( Memperbaiki prilaku imitasi dan modeling )<br />
1) Konsultasi untuk separasi bagi pemakai rokok pemula<br />
2) Mengikutsertakan orang tua dalam membantu anak melepaskan diri dari rokok<br />
3) Membuat agar anak-anak perokok berjanji untuk menentukan batas akhir merokoknya<br />
4) Memberikan sanksi terhadap remaja yang melanggar janji<br />
5) Menetapkan hadiah yang ditetapkan jika telah berhasil berhenti merokok.<br />
<br />
d. Rehabilitatif<br />
1) Ditujukan pada remaja-remaja yang adiksi terhadap rokok.<br />
<br />
4. Implementasi<br />
Melaksanakan semua rencana yang dibuat dalam bentuk rencana jangka pendek 1 bulan, mengah 6 bulan dan panjang 1 tahun. Implementasi dilakukan bekerjasama dengan semua semua komponen secara sinergis seperti guru, orang tua, teman sebaya, pemerintah dan lembaga informal.<br />
<br />
5. Evaluasi<br />
Evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan pencapaian tindakan yang telah dilakukan baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.<br />
<br />
C. Pandangan Terhadap Teori “ Sosial Learning Bandura”<br />
Secara umum konsep “ Social Learning Bandura” dapat dijadikan pelengkap dalam mempelajari konsep perilaku manusia. Konsep perubahan perilaku menurut Bandura lebih tepat digunakan menilai proses terjadinya perilaku dan penangannya terkait dengan masalah-masalah perilaku pada komunitas. Analisa perubahan perilaku dari teori sebelumnya, seperti Freud dan Paplov lebih menekankan faktor internal dan personal dari individu sehingga akan lebih cocok untuk mengatasi masalah individu. Kekuatan dari teori Bandura adalah adanya hasil penelitian sebagai bukti pendukung ilmiah berupa permainan “Boneka Bobo Doll” . Teori Bandura memiliki aplikasi praktis ketika mengembangkan konsep efektivitas diri, yakni pada orang yang memiliki kemauan dan control pribadi memiliki kemampuan lebih besar dalam merubah perilaku. Penghargaan terhadap self efisasi dapat memperbaiki perilaku masyarakat.<br />
<br />
Kelemahan teori Bandura adalah bahwa perbedaan individual kurang diperhatikan, sehingga konsep Bandura tidak bias diterapkan pada pendekatan perubahan individu karena setiap individu memiliki perbedaan latar belakang. Teori Bandura tidak bisa ditetapkan dan diterapkan secara universal. Teori Bandura terlalu banyak berfokus pada situasi daripada perkembangan individu dan cirri kepribadian batin mereka. Teori Bandura tidak bisa menjelaskan konsep efisasi dalam satu-kesatuan konsep observasi, imitasi dan modeling.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Anderson E.T, Mc Farlen (2000), Buku Ajar Keperawatan Komunitas;Teori dan Praktek; Edisi III, Jakarta: Jakarta.<br />
Atkinson (1999). Pengantar Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. <br />
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat (2001). Buku Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah & Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa. Direproduksi oleh Proyek Peningkatan Kesehatan Khusus APBD 2002. <br />
Hurlock, E.B (1998). Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga. <br />
Helvie C.O (1998) Advance Practice Nursing In The Community, Thousand Oaks; London, New Delhi, Sage Publication.<br />
Kaplan dan Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis (Edisi ke 7, Jilid 1). Jakarta. Binarupa Aksara. <br />
Kozier, B (1991). Fundamental of Nursing : Concept, Process, and Practice. Fourth Edition. California : Addison-Wesley Publishing Company. <br />
Mappiare, A. (1992). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. <br />
Mazure (1994) Behaviour Theories.; New York: Mosby<br />
Stuart & Sundeen (1998). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. 6 th. Ed. Philadelphia: The C V Mosby. <br />
Tomey M. (2006) Nursing Theories and Their Work, Baltimore, Phildelpia; Mosby.<br />
George J.B (1995) Nursing Theories,Norwalk, Conneticut: Appleton & Lange<br />
___________(2009) Merokok di Indonesia, www. Kabarindo.comI Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-84976300793975060112010-09-28T09:45:00.001-07:002010-09-28T09:45:45.700-07:00TREND PERAWATAN KOMPLEMENTER DI INDONESIATrend Penggunaan Pengobatan Tradisional di Indonesia<br />
Salah satu bentuk tata cara penggunaan pengobatan tradisional adalah bahwa obat tradisional sering dipilih oleh pasien pada saat awal mengeluh sakit, baik dengan menggunakan obat tradsional maupun dengan menggunakan cara-cara pengobatan tradisional (Supardi,2001). Persentase terbesar penduduk Indonesia yang melakukan pengobatan tradisional (57,7%) cenderung menurun dibandingkan dengan hasil Susenas tahun-tahun sebelumnya . Hal ini mungkin berhubungan dengan adanya krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, kemudian pemerintah melakukan intervensi melalui program JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan) antara lain pemberian kartu sehat kepada kelompok miskin sehingga terjadi peningkatan pengobatan medis melalui Puskesmas dan rumah sakit. <br />
Penduduk Indonesia yang menggunakan obat (82,7%) cenderung menurun, tetapi penggunaan obat tradisional (31,7%) dan cara tradisional (9,8%) cenderung meningkat dibandingkan dengan hasil Susenas tahun-tahun sebelumnya. Penggunaan obat menurun mungkin berkaitan dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menggunakan pengobatan alternatif, seperti obat tradisional dan cara tradisional. Peningkatan penggunaan cara tradisional, seperti pijat, kerokan, akupresur, dan senam olah pernapasan mungkin disebabkan meningkatnya pelatihan ketrampilan teknik pengobatan tersebut sebagai pengobatan alternatif untuk kemandirian hidup sehat . <br />
Persentase terbesar (51%) penduduk Indonesia yang menggunakan obat dalam pengobatan sendiri adalah kelompok usia sekolah dan usia kerja 15-55 tahun . Hal ini mungkin menunjukkan bahwa penduduk pada kelompok usia sekolah dan usia kerja lebih menyukai pengobatan sendiri untuk menanggulangi keluhan sakit karena dapat menghemat waktu dan biaya. <br />
B. Standard dan Indikator<br />
Kebijakan penggunaan TM/CAM/CAT sebagai pilihan pengobatan sudah menjadi kebijakan dunia, yang tertuang dalam srategi “ WHO Traditional Medicine Strategy 2002-2005”. Dasar dari kebijakan ini adalah penghargaan terhadap nilai-nilai budaya, adat, keyakinan dan sumber daya yang berkembang di seluruh wilayah dunia yang telah menjadi pedoman turun temurun dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal ini juga diakibatkan oleh banyaknya obat, cara, maupun system kesehatan tradisional yang dalam prakteknya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait upaya peningkatan penggunaan TM/CAM antara lain 1) Perlunya kebijakan untuk mengadopsi TM/CAM sebagai bagian dari system kesehatan dengan mengeluarkan aturan-aturan yang mendukung penggunaan TM/CAM dalam system pelayanan kesehatan 2) Perlunya dilakukan upaya peningkatan kualitas, efektivitas dan efisasi dari TM/CAM dengan melakukan penelitian dan menetapkan standar kualitas produk-produk TM/CAM 3) Meningkatkan akses penggunaan TM/CAM bagi masyarakat dengan mendirikan berbagai sarana kesehatan yang menyelenggarakan TM/CAM serta 4) Menggunakan TM/CAM secara rasional dengan cara meningkatkan kemampuan pengobat tradisional, melakukan pelatihan terhadap tenaga kesehatan dan melakukan eduksi dan pemberian informasi tentang TM/CAM ke masyarakat. <br />
Kebijakan WHO ini selanjutnya di ratifikasi oleh oleh Indonesia dalam bentuk penerbitan aturan perundang-undangan yang mengadopsi kebijakan WHO tentang TM/CAM. UU no 23 1992 secara tegas memberikan batasan dan garis terkait pentingnya penggunaan TM/CAM dalam pelayanan kesehatan. Namnu sangat disayangkan jika dalam Undang-undang ini definisi pengobatan tradisional dibuat sebagai tatacara pengobatan diluar ilmu kedokteran atau keperawatan, padahal mestinya dibuat suatu pengertian yang bisa menjadikan TM/CAM sebagai bagian yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan modern. Dalam Renstra Depertemen Kesehatan 2005-2009 juga mencantumkan strategi pengunaan TM/CAM yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun komunitas, Namun dalam aturan yang lebih khusus yakni Permenkes 381/Menkes SK/11/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional tidak diatur secara khusus tentang pengobatan tradisional, tetapi hanya memuat obat tradisional. Padahal jika berbicara tentang TM/CAM maka kebijakan tersebut seharusnya memuat tentang obat, system dan cara-cara pengobatan tradisional.<br />
Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah tidak diakomodasinya TM/CAM dalam UU no 29/2004 tentang Praktek Kedokteran kondisi ini memberikan bukti bahwa tenaga medis dalam melakukan praktek hanya didasarkan pada model pendekatan barat, padahal WHO sendiri menganjurkan perlu adanya strategi mensinergikan antara pengobatan modern dengan pengobatan tradisional sebagai salah satu strategi dalam upaya meningkatkan kesehatan masyakat.<br />
Dari beberapa aturan tentang TM/CAM tampaknya perlu ada upaya yang lebih nyata dalam mengiplementasikan kebijakan WHO, kebijakan UU Kesehatan dan Renstra Depkes agar adanya kesamaan pola fikir, strategi dan langkah dalam menjadikan TM/CAM sebagai salah satu upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Pemerintah perlu membuat indicator kunci yang ditujukan kepada seluruh lembaga pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, pribadi maupun kelompok agar bisa digunakan sebagai pedoman dalam mengaplikasikan penggunaan TM/CAM di dalam pelayanan kesehatan.<br />
C. TM/CAM Bagi Profesi Keperawatan<br />
Perawat sebagai bagian integral pelayan kesehatan hendaknya memahami bahwa TM/CAM yang diadopsi menjadi TM/CAT merupakan salah satu unsur penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pemberian asuhan keperawatan dengan mengkobinasikan berbagai tindakan konvensional dengan TM/CAT sangat penting dilakukan. Hal ini mengingat bahwa sebagian filsafat dari Holistic Nursing yang dijadikan pola fikir oleh ahli-ahli keperawatan bergerak dari konsep TM/CAT (Snyder et all, 2006). Konsep manusia sebagai makhluk holistic, terbuka dan beradaptasi dengan lingkungan, lingkungan sebagai Energy Field yang mempengaruhi kesehatan manusia merupakan bentuk pola fikir abstrak, yang dilandasi oleh filsafat TM/CAT. Oleh karena itu perawat tidak boleh apriori ketika berbicara dan mencoba mengaplikasikan TM/CAT dalam praktek keperawatan sebagai bagian dari Nursing Therapi. Selain itu WHO member petunjuk bahwa perawat dan dokter adalah tenaga kesehatan yang menjadi sasaran yang harus menguasai dam mampu mempraktkkan ketrampilan TM/CAM (WHO,2002). Hal ini juga didukung oleh adanya kebijakan pemerintah Indonesia terkait TM/CAM dalam UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan, meskipin secara ekplisit tidak menjelaskan siapa dan bagaimana aplikasi TM/CAM itu dalam praktek pelayanan kesehatan. <br />
Harapan akomodasi organisasi profesi terhadap penerapan TM/CAM dalam praktek keperawatan tertuang dalam RUU Praktek keperawatan Bab III Pasal 4 bagian b RUU Praktek Keperawatan tentang lingkup Praktek Keperawatan bahwa lingkup praktek keperawatan adalah memberikan tindakan keperawatan langsung, terapi komplementer,......“ Kalau disimak kalimat tentang tindakan yang bisa dilakukan hendaknya ditambahkan dengan pemberian Therapi tradisional/ Komplementer dan Alternatif. Hal ini menyesuaikan dengan rumusan-rumusan yang tercantum, baik dalam kebijakan WHO maupun kebijakan pemerintah Indonesia.<br />
Dukungan kebijakan ini hendaknya diantisipasi oleh tenaga perawat, terutama perawat komunitas, karena seni dan aplikasi TM/CAM sangat mungkin diterapkan dalam praktek komunitas bila dibandingkan dengan praktek klinik di rumah sakit, mengingat kebijakan tentang TM/CAM oleh RS maupun profesi kedokteran hingga saat ini belum ada. Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah:<br />
1. Memahami filsafat dari konsep TM/CAT<br />
2. Mempelajari TM/CAM melalui kurikulum yang lebih komprehensif<br />
3. Mempraktekkan TM/CAT yang terintegrasi dengan nursing therapy lain dalam menangani pasien.<br />
4. Mensosialisasikan penggunaan TM/CAT kepada masyakat untuk meningkatkan rasionalisasi penggunaan TM/CAT<br />
5. Melakukan kajian tentang berbagai TM/CAT yang berkembang di masyarakat<br />
6. Melakukan penelitian tentang Efektivitas, Kualitas dan Efisasi dari TM/CAT yang ada di masyarakat.<br />
7. Mensosialisaikan penggunaan TM/CAT terhadap tenaga keperawatan<br />
8. Membantu pemerintah merumuskan penataan TM/CAT<br />
Bagi tenaga keperawatan yang sudah menerapkan TM/CAT dalam prakteknya maka perlu diperhatikan hal-hal berikut<br />
1. Mendengarkan keluhan dan dan memberikan informasi yg tepat <br />
2. TM/CAT mungkin dapat membantu si pasien namun belum dapat dipastikan <br />
3. Jangan mengganti therapi saat ini dan menggantikan sepenuhnya dengan TM/CAT<br />
4. Ingatkan agar pasien mengamati reaksi dari therapi TM/CAT<br />
5. Jangan menghentikan therapi non farmakologis seperti olahraga atau menurunkan Berat badan <br />
6. Nilai kembali kemajuan pasien setiap kontrol <br />
7. Tenaga kesehatan jangan apriori/skeptis dg therapi alternatif tetapi tetap harus mempelajari dan mengembangkan. <br />
D. Analisis SWOT<br />
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, yang mengacu pada komponen trend penggunaan TM/CAT, standard dan indicator serta konsep TM/CAT bagi perawat selanjutnya dapat disimpulkan sustu bentuk analisis dengan model SWOT sebagai berikut:<br />
1. Kekuatan<br />
a) Perawat merupakan tenaga professional yang keilmuwannya berkembang dari konsep filsafat TM/CAM<br />
b) Perawat memiliki dasar pengetahhuan kesehatan dan keperawatan yang memungkinkan menguasai dan mengembangkan TM/CAT dalam praktek<br />
c) Kewenangan memberikan TM/CAT telah tercantum dalam RUU Praktek keperawatan<br />
<br />
2. Kelemahan<br />
a) Pola fikir apriori terhadap TM/CAT oleh sebagain besar tenaga perawat sehingga kemauan mempelajari dan mempraktekan kurang<br />
b) TM/CAT sebagai ilmu yang abstrak sehingga sulit dipahami<br />
c) Kurangnya riset keperawatan yang menggunakan pendekatan TM/CAT<br />
d) Pola fikir yang west minded menyebabkan tidak mau melakukan ekplorasi terhadap penggunaan TM/CAT<br />
e) Tindakan keperawatan jarang diitegrasikan dengan TM/CAM sehingga terkadang kehilangan aspek holistic<br />
f) Belum adanya indicator dan standar tentang penggunaan TM/CAT dapat mengurangi pemanfaataan TM/CAT dalam praktek keperawatan bak klinik maupun komunitas.<br />
g) RUU Praktek Keperawatan belum disahkan sehingga belum memiliki kekuatan hokum dalam mengatur praktek keperawatan termasuk kewenangan memberikan TM/CAT.<br />
h) Belum jelasnya standar asuhan keperawatan dan SOP penggunaan TM/CAT dapat mengakibatkan dampak hukum bagi perawat jika menggunakan TM/CAT dalam praktek.<br />
3. Peluang<br />
a) Strategi WHO, kebijakan pemerintah dan pengakuan terhadap TM/CAT merupakan peluang bagi perawat dalam mengembangkan praktek keperawatan yang lebih holistic.<br />
b) Praktek keperawatan baik di klinik maupun dikomunitas akan lebih sempurna, komprehensif dan holistic bila diintegrasikan dengan TM/CAT<br />
c) TM/CAT merupakan bentuk therapy dengan konsep locality development yang lebih mengedepankan unsur budaya, adat, kebiasaan, kepercayaan dan sumber-sumber potensi setempat sehingga lebih familiar sebagai entry marketing dalam menawarkan jasa keperawatan.<br />
<br />
4. Ancaman<br />
a) Masih belum jelasnya aturan terkait penggunaan TM/CAT dalam praktek keperawatan dapat menimbulkan terkait etik dan hokum.<br />
b) Filosofi TM/CAT memiliki akar yang sama dengan filosofi keperawatan, akan tetapi banyak tenaga non keperawatan/kesehatan justeru lebih leluasa melakukan praktek TM/CAT sehingga menjadi ancaman terhadap eksistensi praktek keperawatan.<br />
c) Adanya klaim kata therapy oleh profesi tertentu menyebabkan terjadinya perebutan area praktek antar berbagai profesi terkait penerapan TM/CAT.I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-10137640841230082232010-09-28T08:25:00.001-07:002010-09-28T08:25:58.463-07:00UU KESEHATAN NO 36 TAHUN 2009UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 36 TAHUN 2009<br />
TENTANG<br />
KESEHATAN <br />
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA <br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, <br />
Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;<br />
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara;<br />
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat;<br />
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru;<br />
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan; <br />
Mengingat : Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; <br />
Dengan Persetujuan Bersama<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />
dan<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA <br />
MEMUTUSKAN : <br />
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN. <br />
BAB I<br />
KETENTUAN UMUM <br />
Pasal 1<br />
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:<br />
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.<br />
2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.<br />
3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.<br />
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.<br />
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.<br />
6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.<br />
7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.<br />
8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.<br />
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.<br />
10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia.<br />
11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.<br />
12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.<br />
13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.<br />
14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.<br />
15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.<br />
16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.<br />
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />
18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.<br />
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan. <br />
BAB II<br />
ASAS DAN TUJUAN <br />
Pasal 2<br />
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. <br />
Pasal 3<br />
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. <br />
BAB III<br />
HAK DAN KEWAJIBAN <br />
Bagian Kesatu<br />
Hak <br />
Pasal 4<br />
Setiap orang berhak atas kesehatan. <br />
Pasal 5<br />
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.<br />
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.<br />
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. <br />
Pasal 6<br />
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. <br />
Pasal 7<br />
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. <br />
Pasal 8<br />
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. <br />
Bagian Kedua<br />
Kewajiban <br />
Pasal 9<br />
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.<br />
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan. <br />
Pasal 10<br />
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. <br />
Pasal 11<br />
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. <br />
Pasal 12<br />
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. <br />
Pasal 13<br />
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.<br />
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
BAB IV<br />
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH <br />
Pasal 14<br />
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.<br />
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik. <br />
Pasal 15<br />
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya. <br />
Pasal 16<br />
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. <br />
Pasal 17<br />
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. <br />
Pasal 18<br />
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. <br />
Pasal 19<br />
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. <br />
Pasal 20<br />
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan social nasional bagi upaya kesehatan perorangan.<br />
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
BAB V<br />
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN <br />
Bagian Kesatu<br />
Tenaga Kesehatan <br />
Pasal 21<br />
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.<br />
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.<br />
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang. <br />
Pasal 22<br />
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.<br />
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 23<br />
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.<br />
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.<br />
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.<br />
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.<br />
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. <br />
Pasal 24<br />
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.<br />
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.<br />
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 25<br />
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.<br />
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.<br />
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 26<br />
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan.<br />
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.<br />
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:<br />
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;<br />
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan<br />
c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.<br />
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.<br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 27<br />
1. Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.<br />
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.<br />
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 28<br />
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.<br />
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. <br />
Pasal 29<br />
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. <br />
Bagian Kedua<br />
Fasilitas Pelayanan Kesehatan <br />
Pasal 30<br />
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:<br />
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan<br />
b. pelayanan kesehatan masyarakat.<br />
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:<br />
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;<br />
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan<br />
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.<br />
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.<br />
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.<br />
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. <br />
Pasal 31<br />
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:<br />
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; dan<br />
b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau Menteri. <br />
Pasal 32<br />
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.<br />
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. <br />
Pasal 33<br />
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.<br />
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 34<br />
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.<br />
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.<br />
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 35<br />
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.<br />
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:<br />
a. luas wilayah;<br />
b. kebutuhan kesehatan;<br />
c. jumlah dan persebaran penduduk;<br />
d. pola penyakit;<br />
e. pemanfaatannya;<br />
f. fungsi sosial; dan<br />
g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.<br />
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing.<br />
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum.<br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Bagian Ketiga<br />
Perbekalan Kesehatan <br />
Pasal 36<br />
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.<br />
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat. <br />
Pasal 37<br />
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi.<br />
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan factor yang berkaitan dengan pemerataan. <br />
Pasal 38<br />
(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.<br />
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.<br />
(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya. <br />
Pasal 39<br />
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 40<br />
(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.<br />
(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.<br />
(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.<br />
(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.<br />
(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.<br />
(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.<br />
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 41<br />
(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.<br />
(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar pelayanan yang berlaku secara nasional. <br />
Bagian Keempat<br />
Teknologi dan Produk Teknologi <br />
Pasal 42<br />
(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.<br />
(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit.<br />
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 43<br />
(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukan penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan teknologi dan produk teknologi.<br />
(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 44<br />
(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau hewan.<br />
(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan uji coba.<br />
(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh orang yang berwenang dan dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba.<br />
(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia.<br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 45<br />
(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
BAB VI<br />
UPAYA KESEHATAN <br />
Bagian Kesatu<br />
Umum <br />
Pasal 46<br />
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. <br />
Pasal 47<br />
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. <br />
Pasal 48<br />
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:<br />
a. pelayanan kesehatan;<br />
b. pelayanan kesehatan tradisional;<br />
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;<br />
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;<br />
e. kesehatan reproduksi;<br />
f. keluarga berencana;<br />
g. kesehatan sekolah;<br />
h. kesehatan olahraga;<br />
i. pelayanan kesehatan pada bencana;<br />
j. pelayanan darah;<br />
k. kesehatan gigi dan mulut;<br />
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;<br />
m. kesehatan matra;<br />
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;<br />
o. pengamanan makanan dan minuman;<br />
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau<br />
q. bedah mayat.<br />
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan. <br />
Pasal 49<br />
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan.<br />
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi. <br />
Pasal 50<br />
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.<br />
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.<br />
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian.<br />
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor. <br />
Pasal 51<br />
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan<br />
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu<br />
atau masyarakat.<br />
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan<br />
minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)<br />
diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Bagian Kedua<br />
Pelayanan Kesehatan <br />
Paragraf Kesatu<br />
Pemberian Pelayanan <br />
Pasal 52<br />
(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:<br />
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan<br />
b. pelayanan kesehatan masyarakat.<br />
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. <br />
Pasal 53<br />
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.<br />
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.<br />
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien disbanding kepentingan lainnya. <br />
Pasal 54<br />
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.<br />
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. <br />
Pasal 55<br />
(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.<br />
(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Paragraf Kedua<br />
Perlindungan Pasien <br />
Pasal 56<br />
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.<br />
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:<br />
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;<br />
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau<br />
c. gangguan mental berat.<br />
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 57<br />
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.<br />
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:<br />
a. perintah undang-undang;<br />
b. perintah pengadilan;<br />
c. izin yang bersangkutan;<br />
d. kepentingan masyarakat; atau<br />
e. kepentingan orang tersebut. <br />
Pasal 58<br />
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.<br />
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.<br />
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Bagian Ketiga<br />
Pelayanan Kesehatan Tradisional <br />
Pasal 59<br />
(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi:<br />
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan<br />
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.<br />
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jeni pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 60<br />
(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.<br />
(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat. <br />
Pasal 61<br />
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.<br />
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat. <br />
Bagian Keempat<br />
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit <br />
Pasal 62<br />
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.<br />
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.<br />
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Bagian Kelima<br />
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan <br />
Pasal 63<br />
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.<br />
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.<br />
(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.<br />
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.<br />
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. <br />
Pasal 64<br />
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.<br />
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.<br />
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. <br />
Pasal 65<br />
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.<br />
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.<br />
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 66<br />
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya. <br />
Pasal 67<br />
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.<br />
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. <br />
Pasal 68<br />
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.<br />
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 69<br />
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.<br />
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.<br />
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastic dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 70<br />
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.<br />
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Bagian Keenam<br />
Kesehatan Reproduksi <br />
Pasal 71<br />
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan perempuan.<br />
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:<br />
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;<br />
b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan<br />
c. kesehatan sistem reproduksi.<br />
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. <br />
Pasal 72<br />
Setiap orang berhak:<br />
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.<br />
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.<br />
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.<br />
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. <br />
Pasal 73<br />
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. <br />
Pasal 74<br />
(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.<br />
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 75<br />
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.<br />
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:<br />
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau<br />
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.<br />
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 76<br />
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:<br />
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;<br />
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;<br />
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;<br />
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan<br />
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. <br />
Pasal 77<br />
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Bagian Ketujuh<br />
Keluarga Berencana <br />
Pasal 78<br />
(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.<br />
(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.<br />
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. <br />
Bagian Kedelapan<br />
Kesehatan Sekolah <br />
Pasal 79<br />
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggitingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.<br />
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.<br />
(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Bagian Kesembilan<br />
Kesehatan Olahraga <br />
Pasal 80<br />
(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat.<br />
(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.<br />
(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga. <br />
Pasal 81<br />
(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.<br />
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. <br />
Bagian Kesepuluh<br />
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana <br />
Pasal 82<br />
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.<br />
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pascabencana.<br />
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut.<br />
(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 83<br />
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien.<br />
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. <br />
Pasal 84<br />
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada bencana diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 85<br />
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.<br />
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu. <br />
Bagian Kesebelas<br />
Pelayanan Darah <br />
Pasal 86<br />
(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial.<br />
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor.<br />
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mencegah penularan penyakit. <br />
Pasal 87<br />
(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit Transfusi Darah.<br />
(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan. <br />
Pasal 88<br />
(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.<br />
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi darah. <br />
Pasal 89<br />
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan transfusi darah. <br />
Pasal 90<br />
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.<br />
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.<br />
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. <br />
Pasal 91<br />
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi.<br />
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh Pemerintah. <br />
Pasal 92<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Bagian Kedua Belas<br />
Kesehatan Gigi dan Mulut <br />
Pasal 93<br />
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.<br />
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah. <br />
Pasal 94<br />
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. <br />
Bagian Ketiga Belas<br />
Penanggulangan Gangguan Penglihatan<br />
dan Gangguan Pendengaran <br />
Pasal 95<br />
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan, dan pendengaran masyarakat.<br />
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. <br />
Pasal 96<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Bagian Keempat Belas<br />
Kesehatan Matra <br />
Pasal 97<br />
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan udara.<br />
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.<br />
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar dan persyaratan.<br />
(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Bagian Kelima Belas<br />
Pengamanan dan Penggunaan<br />
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan <br />
Pasal 98<br />
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.<br />
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.<br />
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.<br />
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). <br />
Pasal 99<br />
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.<br />
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.<br />
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi. <br />
Pasal 100<br />
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.<br />
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional . <br />
Pasal 101<br />
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.<br />
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 102<br />
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.<br />
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 103<br />
(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.<br />
(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. <br />
Pasal 104<br />
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.<br />
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. <br />
Pasal 105<br />
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.<br />
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.<br />
Pasal 106<br />
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.<br />
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.<br />
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 107<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 108<br />
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Bagian Keenam Belas<br />
Pengamanan Makanan dan Minuman <br />
Pasal 109<br />
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan. <br />
Pasal 110<br />
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. <br />
Pasal 111<br />
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.<br />
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:<br />
a. Nama produk;<br />
b. Daftar bahan yang digunakan;<br />
c. Berat bersih atau isi bersih;<br />
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan<br />
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.<br />
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat.<br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.<br />
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 112<br />
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan,ndan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111. <br />
Bagian Ketujuh Belas<br />
Pengamanan Zat Adiktif <br />
Pasal 113<br />
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.<br />
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.<br />
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. <br />
Pasal 114<br />
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. <br />
Pasal 115<br />
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:<br />
a. fasilitas pelayanan kesehatan;<br />
b. tempat proses belajar mengajar;<br />
c. tempat anak bermain;<br />
d. tempat ibadah;<br />
e. angkutan umum;<br />
f. tempat kerja; dan<br />
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.<br />
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. <br />
Pasal 116<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Bagian Kedelapan Belas<br />
Bedah Mayat <br />
Pasal 117<br />
Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantungsirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.<br />
Pasal 118<br />
(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.<br />
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas upaya identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 119<br />
(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.<br />
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.<br />
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.<br />
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan. <br />
Pasal 120<br />
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran.<br />
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.<br />
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 121<br />
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.<br />
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 122<br />
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.<br />
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 123<br />
(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan tindakan pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ.<br />
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 124<br />
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi. <br />
Pasal 125<br />
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hokum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD. <br />
BAB VII<br />
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK,<br />
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT <br />
Bagian Kesatu<br />
Kesehatan ibu, bayi, dan anak <br />
Pasal 126<br />
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.<br />
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.<br />
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 127<br />
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:<br />
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;<br />
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan<br />
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.<br />
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 128<br />
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.<br />
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.<br />
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum. <br />
Pasal 129<br />
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 130<br />
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. <br />
Pasal 131<br />
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.<br />
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.<br />
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah. <br />
Pasal 132<br />
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.<br />
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 133<br />
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.<br />
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. <br />
Pasal 134<br />
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.<br />
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 135<br />
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.<br />
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak. <br />
Bagian Kedua<br />
Kesehatan Remaja <br />
Pasal 136<br />
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.<br />
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.<br />
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. <br />
Pasal 137<br />
(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.<br />
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Bagian Ketiga<br />
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat <br />
Pasal 138<br />
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan.<br />
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. <br />
Pasal 139<br />
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.<br />
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. <br />
Pasal 140<br />
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,<br />
dan/atau masyarakat. <br />
BAB VIII<br />
GIZI <br />
Pasal 141<br />
(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.<br />
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :<br />
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang;<br />
b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan;<br />
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan<br />
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.<br />
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau.<br />
(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.<br />
(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota. <br />
Pasal 142<br />
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:<br />
a. bayi dan balita;<br />
b. remaja perempuan; dan<br />
c. ibu hamil dan menyusui.<br />
(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar angka kecukupan gizi, standar pelayanan gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.<br />
(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat.<br />
(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.<br />
(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk mencapai status gizi yang baik. <br />
Pasal 143<br />
Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi. <br />
BAB IX<br />
KESEHATAN JIWA <br />
Pasal 144<br />
(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.<br />
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial.<br />
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.<br />
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).<br />
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa. <br />
Pasal 145<br />
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3). <br />
Pasal 146<br />
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai kesehatan jiwa.<br />
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.<br />
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa. <br />
Pasal 147<br />
(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.<br />
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita.<br />
(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 148<br />
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.<br />
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain. <br />
Pasal 149<br />
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.<br />
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.<br />
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.<br />
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. <br />
Pasal 150<br />
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.<br />
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi. <br />
Pasal 151<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
BAB X<br />
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR <br />
Bagian Kesatu<br />
Penyakit Menular <br />
Pasal 152<br />
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakatbertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.<br />
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.<br />
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.<br />
(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.<br />
(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.<br />
(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui lintas sektor.<br />
(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.<br />
(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 153<br />
Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi. <br />
Pasal 154<br />
(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.<br />
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.<br />
(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.<br />
Pasal 155<br />
(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.<br />
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.<br />
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.<br />
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). <br />
Pasal 156<br />
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB).<br />
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui keakuratannya.<br />
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).<br />
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 157<br />
(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.<br />
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Bagian Kedua<br />
Penyakit Tidak Menular <br />
Pasal 158<br />
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya.<br />
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan.<br />
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.<br />
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 159<br />
(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit, dan surveilan kematian.<br />
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian penyakit tidak menular.<br />
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama lintas sektor dan dengan membentukjejaring, baik nasional maupun internasional. <br />
Pasal 160<br />
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.<br />
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak benar. <br />
Pasal 161<br />
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.<br />
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara profesional sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.<br />
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular. <br />
BAB XI<br />
KESEHATAN LINGKUNGAN <br />
Pasal 162<br />
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. <br />
Pasal 163<br />
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.<br />
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.<br />
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:<br />
a. limbah cair;<br />
b. limbah padat;<br />
c. limbah gas;<br />
d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah;<br />
e. binatang pembawa penyakit;<br />
f. zat kimia yang berbahaya;<br />
g. kebisingan yang melebihi ambang batas;<br />
h. radiasi sinar pengion dan non pengion;<br />
i. air yang tercemar;<br />
j. udara yang tercemar; dan<br />
k. makanan yang terkontaminasi.<br />
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. <br />
BAB XII<br />
KESEHATAN KERJA <br />
Pasal 164<br />
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.<br />
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja di sektor formal dan informal.<br />
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.<br />
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan tentara nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.<br />
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).<br />
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.<br />
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 165<br />
(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.<br />
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.<br />
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.<br />
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 166<br />
(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.<br />
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). <br />
BAB XIII<br />
PENGELOLAAN KESEHATAN <br />
Pasal 167<br />
(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.<br />
(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah.<br />
(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional.<br />
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. <br />
BAB XIV<br />
INFORMASI KESEHATAN <br />
Pasal 168<br />
(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan informasi kesehatan.<br />
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui lintas sektor.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 169<br />
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. <br />
BAB XV<br />
PEMBIAYAAN KESEHATAN <br />
Pasal 170<br />
(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.<br />
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.<br />
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain. <br />
Pasal 171<br />
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.<br />
(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.<br />
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. <br />
Pasal 172<br />
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br />
Pasal 173<br />
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.<br />
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan system jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
BAB XVI<br />
PERAN SERTA MASYARAKAT <br />
Pasal 174<br />
(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.<br />
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif. <br />
BAB XVII<br />
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN <br />
Bagian Kesatu<br />
Nama dan Kedudukan <br />
Pasal 175<br />
Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen, yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang di bidang kesehatan. <br />
Pasal 176<br />
(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat dan daerah.<br />
(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.<br />
(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat BPKD berkedudukan di provinsi dan kabupaten/kota.<br />
(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berada sampai pada tingkat kecamatan. <br />
Bagian Kedua<br />
Peran, Tugas, dan Wewenang <br />
Pasal 177<br />
(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.<br />
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang antara lain:<br />
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan terhadap berbagai informasi dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap proses pembangunan kesehatan;<br />
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang sasaran pembangunan kesehatan selama kurun waktu 5 (lima) tahun;<br />
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan kesehatan;<br />
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan;<br />
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua sumber agar pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi yang ditetapkan;<br />
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; dan<br />
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan yang menyimpang.<br />
(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan pembiayaan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. <br />
BAB XVIII<br />
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN <br />
Bagian Kesatu<br />
Pembinaan <br />
Pasal 178<br />
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. <br />
Pasal 179<br />
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:<br />
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan;<br />
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan;<br />
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan;<br />
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;<br />
e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan;<br />
f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.<br />
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:<br />
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat;<br />
b. pendayagunaan tenaga kesehatan;<br />
c. pembiayaan. <br />
Pasal 180<br />
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah, dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan. <br />
Pasal 181<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Bagian Kedua<br />
Pengawasan <br />
Pasal 182<br />
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.<br />
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan upaya kesehatan.<br />
(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.<br />
(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat. <br />
Pasal 183<br />
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. <br />
Pasal 184<br />
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tenaga pengawas mempunyai fungsi:<br />
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan;<br />
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. <br />
Pasal 185<br />
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan. <br />
Pasal 186<br />
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 187<br />
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
Pasal 188<br />
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.<br />
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.<br />
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:<br />
a. peringatan secara tertulis;<br />
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri. <br />
BAB XIX<br />
PENYIDIKAN <br />
Pasal 189<br />
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.<br />
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:<br />
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;<br />
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;<br />
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;<br />
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;<br />
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;<br />
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;<br />
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.<br />
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. <br />
BAB XX<br />
KETENTUAN PIDANA <br />
Pasal 190<br />
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).<br />
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah). <br />
Pasal 191<br />
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). <br />
Pasal 192<br />
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). <br />
Pasal 193<br />
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastic dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) <br />
Pasal 194<br />
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). <br />
Pasal 195<br />
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). <br />
Pasal 196<br />
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). <br />
Pasal 197<br />
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). <br />
Pasal 198<br />
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). <br />
Pasal 199<br />
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);<br />
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). <br />
Pasal 200<br />
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) <br />
Pasal 201<br />
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.<br />
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:<br />
a. pencabutan izin usaha; dan/atau<br />
b. pencabutan status badan hukum. <br />
BAB XXI<br />
KETENTUAN PERALIHAN <br />
Pasal 202<br />
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini. <br />
Pasal 203<br />
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. <br />
BAB XXII<br />
KETENTUAN PENUTUP <br />
Pasal 204<br />
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. <br />
Pasal 205<br />
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. <br />
<br />
<br />
<br />
Disahkan di Jakarta<br />
pada tanggal 13 Oktober 200913<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />
ttd.<br />
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO <br />
Diundangkan di Jakarta<br />
pada tanggal 13 Oktober 200913 Oktober 2009<br />
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA<br />
REPUBLIK INDONESIA,<br />
ttd.<br />
ANDI MATTALATTA <br />
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 144144 <br />
Salinan sesuai dengan aslinya <br />
SEKRETARIAT NEGARA RI<br />
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan<br />
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,<br />
ttd<br />
Wisnu Setiawan <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENJELASAN<br />
ATAS<br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 36 TAHUN 2009<br />
TENTANG<br />
KESEHATAN <br />
I. UMUM<br />
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.<br />
Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.<br />
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />
Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.<br />
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsurangsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan.<br />
Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.<br />
Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.<br />
Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.<br />
Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.<br />
Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit.<br />
Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.<br />
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan.<br />
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.<br />
Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah.<br />
Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. <br />
II. PASAL DEMI PASAL <br />
Pasal 1<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 2<br />
Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai berikut:<br />
1. asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.<br />
2. asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual.<br />
3. asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.<br />
4. asas pelindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.<br />
5. asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.<br />
6. asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.<br />
7. asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.<br />
8. asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat.<br />
Pasal 3<br />
Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. <br />
Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat.<br />
Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.<br />
Pasal 4<br />
Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.<br />
Pasal 5<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 6<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 7<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 8<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 9<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 10<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 11<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 12<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 13<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 14<br />
Ayat (1)<br />
Agar upaya kesehatan berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah perlu merencanakan, mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan ataupun sumber dayanya secara serasi dan seimbang dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 15<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 16<br />
Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang merata kepada masyarakat, diperlukan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata dalam arti pendayagunaan dan penyebarannya harus merata ke seluruh wilayah sampai ke daerah terpencil sehingga memudahkan masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan.<br />
Pasal 17<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 18 <br />
Peran serta aktif masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan perlu digerakkan dan diarahkan agar dapat berdaya guna dan berhasil guna.<br />
Pasal 19<br />
Untuk melaksanakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat diperlukan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh wilayah sampai daerah terpencil yang mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat.<br />
Pasal 20<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 21<br />
Ayat (1)<br />
Pada prinsipnya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan ditujukan kepada seluruh tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang dimiliki, antara lain meliputi tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lainnya.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis.<br />
Pasal 22<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 23<br />
Ayat (1)<br />
Kewenangan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Selama memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan harus mengutamakan indikasi medik dan tidak diskriminatif, demi kepentingan terbaik dari pasien dan sesuai dengan indikasi medis.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 24<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 25<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 26<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dimaksudkan agar memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengatur sendiri pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang diperlukan sesuai kebutuhan daerahnya dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 27<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Kewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dimaksudkan agar tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 28<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 29<br />
Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak.<br />
Pasal 30<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar.<br />
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik.<br />
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 31<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 32<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 33<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 34<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Bagi tenaga kesehatan yang sedang menjalani proses belajar diberikan izin secara kolektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 35<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 36<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 37<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 38<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 39<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 40<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (6)<br />
Yang dimaksud dengan “obat generik” adalah obat generik dengan menggunakan nama Internasional Non Propertery Name (INN).<br />
Ayat (7)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 41<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 42<br />
Ayat (1) <br />
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan ditujukan untuk menghasilkan informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi (TI) kesehatan untuk mendukung pembangunan kesehatan. Pengembangan teknologi, produk teknologi, teknologi informasi (TI) dan Informasi Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hak kekayaan intelektual (HKI). Untuk penelitian penyakit infeksi yang muncul baru atau berulang (new emerging atau re emerging diseases) yang dapat menyebabkan kepedulian kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat (public health emergency of international concern/PHEIC) harus dipertimbangkan kemanfaatan (benefit sharing) dan penelusuran ulang asal muasalnya (tracking system) demi untuk kepentingan nasional.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “teknologi kesehatan” dalam ketentuan ini adalah cara, metode, proses, atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan disiplin ilmu pengetahuan di bidang kesehatan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 43<br />
Ayat (1)<br />
Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsure perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang. Lembaga penelitian dan pengembangan kesehatan berfungsi menumbuhkan kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 44<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan uji coba adalah bagian dari kegiatan penelitian dan pengembangan. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik simpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />
Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.<br />
Ayat (2)<br />
Semua uji coba yang menggunakan manusia sebagai subjek uji coba wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia (respect for persons) yang bertujuan menghormati otonomi dan melindungi manusia yang otonominya terganggu/kurang, berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (nonmaleficence) dan keadilan (justice).<br />
Ayat (3)<br />
Uji coba pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan. Penelitian dan pengembangan yang menggunakan manusia sebagai subjek harus mendapat informed consent. Sebelum meminta persetujuan subyek penelitian, peneliti harus memberikan informasi mengenai tujuan penelitian dan pengembangan kesehatan serta penggunaan hasilnya, jaminan kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi, metode yang digunakan, risiko yang mungkin timbul dan hal lain yang perlu diketahui oleh yang bersangkutan dalam rangka penelitian dan pengembangan kesehatan.<br />
Ayat (4)<br />
Hewan percobaan harus dipilih dengan mengutamakan hewan dengan sensitivitas neurofisiologik yang paling rendah (nonsentient organism) dan hewan yang paling rendah pada skala evolusi. Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan dan kesehatan hewan yang digunakan dalam penelitian harus dihormati.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 45<br />
Ayat (1)<br />
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditujukan bagi pengembangan teknologi dan/atau produk teknologi yang bertujuan untuk penyalahgunaan sebagai senjata dan/atau bahan senjata biologi, yang menimbulkan bahaya bagi keselamatan manusia, kelestarian fungsi lingkungan, kerukunan bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, serta membahayakan ketahanan nasional.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 46<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 47<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 48<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 49<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 50<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 51<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 52<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 53<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 54<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 55<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 56<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 57<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 58<br />
Ayat (1)<br />
Yang termasuk “kerugian” akibat pelayanan kesehatan termasuk didalamnya adalah pembocoran rahasia kedokteran.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 59<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 60<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “penggunaan alat dan teknologi” dalam ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang dilakukan.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 61<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 62<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 63<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 64<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 65<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan tertentu” dalam ketentuan ini adalah fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri yang telah memenuhi persyaratan antara lain peralatan, ketenagaan dan penunjang lainnya untuk dapat melaksanakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 66<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 67<br />
Ayat (1)<br />
Pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh dilakukan dalam rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan, pelayanan kesehatan, pendidikan serta kepentingan lainnya. Kepentingan lainnya adalah surveilans, investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB), baku mutu keselamatan dan keamanan laboratorium kesehatan sebagai penentu diagnosis penyakit infeksi, upaya koleksi mikroorganisme, koleksi materi, dan data genetik dari pasien dan agen penyebab penyakit. Pengiriman ke luar negeri hanya dapat dilakukan apabila cara mencapai maksud dan tujuan pemeriksaan tidak mampu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan maupun fasilitas pelayanan kesehatan atau lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri, maupun untuk kepentingan kendali mutu dalam rangka pemutakhiran akurasi kemampuan standar diagnostik dan terapi oleh kelembagaan dimaksud. Pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh dimaksud harus dilegkapi dengan Perjanjian Alih Material dan dokumen pendukung yang relevan.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 68<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 69<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 70<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “sel punca” dalam ketentuan ini adalah sel dalam tubuh manusia dengan kemampuan istimewa yakni mampu memperbaharui atau meregenerasi dirinya dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain yang spesifik.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 71<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 72<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 73<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 74<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 75<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 76<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 77<br />
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.<br />
Pasal 78<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 79<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 80<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 81<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 82<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “bencana” dalam ketentuan ini adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.<br />
Pemerintah harus memfasilitasi tersedianya sumber daya dan pelaksanaan pelayanan kesehatan pada prabencana, saat bencana dan pascabencana.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud “tanggap darurat bencana” dalam ketentuan ini adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 83<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 84<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 85<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 86<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 87<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 88<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 89<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 90<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Guna menjamin ketersediaan darah untuk pelayanan kesehatan, jaminan pemerintah diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi kepada unit transfusi darah (UTD) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan bantuan lainnya.<br />
Ayat (3)<br />
Darah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah kepada setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek jual beli untuk mencari keuntungan, biarpun dengan dalih untuk menyambung hidup.<br />
Pasal 91<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “proses pengolahan” dalam ketentuan ini adalah pemisahan komponen darah menjadi plasma dan sel darah merah, sel darah putih dan sel pembeku darah yang dilakukan oleh UTD dan biaya pengolahan tersebut ditanggung oleh negara.<br />
Yang dimaksud dengan “proses produksi” dalam ketentuan ini adalah proses fraksionasi dimana dilakukan penguraian protein plasma menjadi antara lain albumin, globulin, faktor VIII dan faktor IX dilakukan oleh industri yang harganya dikendalikan oleh Pemerintah.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “dikendalikan” dalam ketentuan ini termasuk harga hasil produksi yang bersumber dari pengolahan darah transfusi.<br />
Pasal 92<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 93<br />
Ayat (1)<br />
Lingkup masalah dari kesehatan gigi dan mulut ditinjau dari fase tumbuh kembang:<br />
a. Fase janin;<br />
b. Ibu Hamil;<br />
c. Anak-anak;<br />
d. Remaja;<br />
e. Dewasa; dan<br />
f. Lanjut Usia.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 94<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 95<br />
Ayat (1)<br />
Pemerintah menggerakan pemberdayaan masyarakat untuk donor kornea dan operasi katarak dalam rangka mencegah kebutaan dan pendengaran.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 96<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 97<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “kesehatan matra” dalam ketentuan ini adalah kondisi dengan lingkungan berubah secara bermakna yang dapat menimbulkan masalah kesehatan.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “kesehatan lapangan” dalam ketentuan ini adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan didarat yang temporer dan serba berubah. Adapun sasaran pokok adalah melakukan dukungan kesehatan operasional dan pembinaan terhadap setiap orang yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan dilapangan.<br />
Yang dimaksud dengan “kesehatan kelautan dan bawah air” dalam ketentuan ini adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan di laut dan yang berhubungan dengan keadaan lingkungan yang bertekanan tinggi (hiperbarik) dengan sasaran pokok melakukan dukungan kesehatan operasional dan pembinaan kesehatan setiap orang yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengoperasian peralatan laut dan dibawah air.<br />
Yang dimaksud dengan “kesehatan kedirgantaraan” dalam ketentuan ini adalah kesehatan matra udara yang mencakup ruang lingkup kesehatan penerbangan dan kesehatan ruang angkasa dengan keadaan lingkungan yang bertekanan rendah (hipobarik) dengan mempunyai sasaran pokok melakukan dukungan kesehatan operasional dan pembinaan kesehatan terhadap setiap orang secara langsung atau tidak langsung.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 98<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 99<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 100<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 101<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 102<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 103<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 104<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 105<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “buku standar lainnya” dalam ketentuan ini adalah kalau tidak ada dalam farmakope Indonesia, dapat menggunakan US farmakope, British farmakope, international farmakope.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 106<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 107<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 108<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 109<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 110<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 111<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 112<br />
Dalam pengaturan termasuk diatur penggunaan bahan tambahan makanan dan minuman yang boleh digunakan dalam produksi dan pengolahan makanan dan minuman.<br />
Pasal 113<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan.<br />
Pasal 114<br />
Yang dimaksud dengan “peringatan kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya.<br />
Pasal 115<br />
Ayat (1)<br />
Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.<br />
Ayat (2)<br />
Pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok harus mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik.<br />
Pasal 116<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 117<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 118<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 119<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 120<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 121<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 122<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 123<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 124<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 125<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 126<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 127<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 128<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “pemberian air susu ibu ekslusif” dalam ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi.<br />
Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 129<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “kebijakan” dalam ketentuan ini berupa pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 130<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 131<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 132<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 133<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 134<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 135<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 136<br />
Ayat (1)<br />
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan edukasi serta layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi remaja dengan memperhatikan masalah dan kebutuhan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan dan penyakit yang dapat menghambat pengembangan potensi anak.<br />
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun luar sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup anak dalam lingkungan hidup yang sehat sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.<br />
Upaya pembinaan usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditujukan untuk menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas dan produktif baik sosial maupun ekonomi.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 137<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 138<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 139<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 140<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 141<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “gizi seimbang” dalam ketentuan ini adalah asupan gizi sesuai kebutuhan seseorang untuk mencegah resiko gizi lebih dan gizi kurang.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 142<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 143<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 144<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 145<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 146<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 147<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 148<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 149<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 150<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 151<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 152<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 153<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 154<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 155<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 156<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 157<br />
Ayat (1)<br />
Perilaku hidup bersih dan sehat bagi penderita penyakit menular dilakukan dengan tidak melakukan tindakan yang dapat memudahkan penularan penyakit pada orang lain.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 158<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 159<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 160<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 161<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 162<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 163<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 164<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 165<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 166<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 167<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 168<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 169<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 170<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 171<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Bagi daerah yang telah menetapkan lebih dari 10% (sepuluh persen) agar tidak menurunkan jumlah alokasinya dan bagi daerah yang belum mempunyai kemampuan agar dilaksanakan secara bertahap.<br />
Ayat (3)<br />
Yang dimaksud dengan “kepentingan pelayanan publik” dalam ketentuan ini adalah pelayanan kesehatan baik pelayanan preventif, pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Biaya tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dengan mengutamakan pelayanan preventif dan pelayanan promotif dan besarnya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari APBN dan APBD.<br />
Pasal 172<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 173<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 174<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 175<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 176<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 177<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 178<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 179<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 180<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 181<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 182<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 183<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 184<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 185<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 186<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 187<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 188<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 189<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 190<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 191<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 192<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 193<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 194<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 195<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 196<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 197<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 198<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 199<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 200<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 201<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 202<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 203<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 204<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 205<br />
Cukup jelas. <br />
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50635063I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-77390470931961937832010-09-28T08:22:00.001-07:002010-09-28T08:22:33.276-07:00ASPEK HUKUM DALAM PELAYANAN KEPERAWATANAspek Hukum Dalam Pelayanan Keperawatan <br />
<br />
<br />
Profesionalisme dan akuntabilitas profesi.<br />
Masyarakat profesi dengan masyarakat umum telah mengadakan suatu kontrak ( Social Contract ) yang memberikan hak otonomi profesi untuk melakukan self regulating, self governing dan self disciplining. Dengan kewajiban memberikan jaminan professional yang kompeten dan melaksanakan praktek sesuai etika dan standart profesinya. <br />
<br />
Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggung jawab dalam sikap dan perilaku. Beberapa cirri profesionalisme kopetensi dan kewenangan sikap yang etis, bekerja sesuai standart profesi, dan khusus profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). <br />
<br />
Kontroversi Keprofesian perawat<br />
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknakes secara eksplisit membagi pendidikan tinggi non akademik menjadi dua kelompok yaitu pendidikan ?vokasi?? bagi pra-Sarjana hingga sarjana, dan pendidikan ?Profesi? bagi pendidikan pasca SI. Berdasarkan UU pendidikan tersebut sebagian besar perawat lebih tepat disebut sebagai tenaga Vokasi, sedangkan untuk mendapatkan pengakuan profesi perawat harus menempuh jenjang pendidikan SI Keperawatan. <br />
<br />
Profesionalisme dan Akuntabilitas Perawat<br />
Profesi perawat disebut akuntabel bila benar ? benar kompeten, wewenang dan melaksanakan profesi sesuai dengan etika dan standart profesinya. Standart profesi memiliki 3 komponen utama yaitu standart kompetensi, standart perilaku dan standart pelayanan. Standard kompetensi adalah kemampuan khusus perawat dibidang keperawatan tertentu yang memiliki tingkat minimal yang tidak boleh dikurangi. <br />
<br />
Kewenangan berkaitan dengan ijin melaksanakan praktek profesi, kewenangan memiliki dua aspek yaitu kewenangan formil dan materiel. Kewenangan materiel diperoleh sejak memperoleh kompetensi dan kemudian ter-registrasi dan mendapatkan SIP (Surat Ijin Kerja). Kewenangan formil adalah ijin kepada penerimanya untuk melakukan praktek profesi, yaitu SIK (Surat Ijin Kerja), bila bekerja dalam suatu institusi dan SIPP (Surat Ijin Perawat) bila praktek pribadi/berkelompok. Kewenangan perawat adalah kewenangan dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan, sedangkan kewenangan melaksanakan tindakan medis hanya diperoleh bila ada pelimpahan wewenang dari tenaga medis, baik langsung maupun melalui SOP. Sedangkan kewenangan perawat melakukan tindakan diluar kewenangan disebut ?Good Samaritan Law? melakukan tindakan yang bersifat pertolongan atas itikad baik (Kepmenkes 1239 Pasal 20). <br />
<br />
Penerapan praktek profesi, perawat haruslah menjunjung tinggi profesionalisme. Bertindak professional berarti memiliki kompetensi dan kewenangan profesi, profesi perawat memiliki kekhasan, yaitu di satu sisi memiliki kopetensi mandiri dibidang keperawatan, disisi lain memiliki kopetensi sebagai pelaksana sebagian tindakan medis. Dalam hal ini, perawat harus berani menolak instruksi tenaga medis yang diluar kompetensinya. <br />
<br />
Pertanggung jawaban hokum profesi<br />
Perawat dapat juga melakukan tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai malpraktek. Black?s Law Dictionary mendifinisikan ?Profesional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure of one rending professional seruicesto exercise that degree of skill and learning commonly appled under all the circumtences in the communicaty by the average prudent reputable member of the profesion with the result of injury loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to roly upon them? <br />
<br />
Dari segi hukum definisi diatas dapat ditarik pemahaman malpraktek dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (Intentional) seperti misconduct, tindakan kelalaian (negligence) ataupun kekurang mahiran. Misconduct merupakan kesengajaan melakukan pelanggaran etik, disiplin profesi, hokum administrative, serta hukum pidana dan perdata, contoh berpraktek tanpa SIP, berpraktek diluar kompetensinya, penyerangan sexual, euthanasia dll. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk yaitu : malteasance (melakukan tindakan yang melanggar hokum), misteasance (melakukan tindakan Askep yang tepat, tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat), nonteasance (tidak melakukan tindakan Askep yang merupakan kewajibannya). <br />
<br />
Tanggung jawab pidana terhadap kasus pelimpahan wewenang tindakan medis dapat menjadi beban dokter atau perawat tergantung letak kesalahannya. Sedangkan tanggung jawab hukum perdata bergantung pada status hubungan antara perawat dengan institusi tempat bekerjanya (Vicarious Liability). KUHP pasal 1367 ?Seorang bertanggung jawab juga atas kerugian akibat kelalaiannya yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dibawah pengawasannya. <br />
Berita Lainnya:<br />
Meningkatnya Pelayanan dan Fasilitas Penunjang di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta <br />
<br />
<br />
Lihat Arsip<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Copyright @ 2006 rspelabuhanjkt.co.idI Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3642394959412790609.post-89222672091396546072010-09-28T08:03:00.000-07:002010-09-28T08:03:08.857-07:00Permenkes<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CUsers%5Cwin7%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5Cwin7%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_editdata.mso" rel="Edit-Time-Data"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5Cwin7%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5Cwin7%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:EN-US;
mso-fareast-language:EN-US;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-hansi-font-family:Calibri;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:36.0pt;
mso-footer-margin:36.0pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">MENTERI KESEHATAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">REPUBLIK INDONESIA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">NOMOR HK.02.02/MENKES/148/I/2010</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">TENTANG</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (5) Undang-<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perlu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Penyelenggaraan Praktik Perawat;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Indonesia Nomor 4431);<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nomor 125, Tambaran Lembaran Negara Republik Indonesia<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Indonesia Nomor 4844);<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">5063);<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nomor 3637);<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Indonesia Nomor 4737);<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">1<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="width: 100%;"><tbody>
<tr> <td style="-moz-background-clip: border; -moz-background-inline-policy: continuous; -moz-background-origin: padding; background: rgb(238, 238, 238) none repeat scroll 0% 0%; padding: 0.75pt;"><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.do" name="2"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt;">Page 2</span></b></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">MENTERI KESEHATAN<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">REPUBLIK INDONESIA<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">439/Menkes/Per/VI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Peraturan Menteri Kesehatan Nomor<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">1575/Per/Menkes/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Departemen Kesehatan;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">MEMUTUSKAN:</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Menetapkan : <b>PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG IZIN DAN</b><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT.</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">BABI</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">KETENTUAN UMUM</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 1</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">1. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">rehabilitatif.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">3. Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">tertulis yang diberikan kepada perawat untuk melakukan praktik keperawatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">secara perorangan dan/atau berkelompok.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">4. Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">standar prosedur operasional.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">5. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">yang diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">6. Obat Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">diperoleh tanpa resep dokter. H<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">7. Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yanq<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dapat diperoleh tanpa resep dokter.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">8. Organisasi Profesi adalah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="width: 100%;"><tbody>
<tr> <td style="-moz-background-clip: border; -moz-background-inline-policy: continuous; -moz-background-origin: padding; background: rgb(238, 238, 238) none repeat scroll 0% 0%; padding: 0.75pt;"><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.do" name="3"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt;">Page 3</span></b></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">MENTERI KESEHATAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">REPUBLIK INDONESIA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">BABU<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">PERIZINAN<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 2<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri dan/atau praktik mandiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) Keperawatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 3<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Setiap Perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Kewajiban memiliki SIPP dikecualikan bagi perawat yang menjalankan praktik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 4<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan oleh<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) SIPP berlaku selama STR masih berlaku.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 5<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Untuk memperoleh SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Perawat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dengan melampirkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">a. fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisir;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">b. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">c. surat pernyataan memiliki tempat praktik;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">e. rekomendasi dari Organisasi Profesi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Surat permohonan memperoleh SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">sebagaimana tercantum dalam Formulir I terlampir.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(3) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">tempat praktik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(4) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Formulir II terlampir.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 6<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Dalam menjalankan praktik mandiri, Perawat wajib memasang papan nama<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">praktik keperawatan.<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="width: 100%;"><tbody>
<tr> <td style="-moz-background-clip: border; -moz-background-inline-policy: continuous; -moz-background-origin: padding; background: rgb(238, 238, 238) none repeat scroll 0% 0%; padding: 0.75pt;"><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.do" name="4"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt;">Page 4</span></b></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">¿ . • <i>fa</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">MENTERI KESEHATAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">REPUBLIK INDONESIA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 7</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">SIPP dinyatakan tidak berlaku karena:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">a. tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPP.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">b. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">c. dicabut atas perintah pengadilan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">d. dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">e. yang bersangkutan meninggal dunia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">BAB III</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">PENYELENGGARAAN PRAKTIK</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 8</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Praktik keperawatan dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(3) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">melalui kegiatan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">a. pelaksanaan asuhan keperawatan;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">b. pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">masyarakat; dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">c. pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(4) Asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dan evai.iasi keperawatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(5) Implementasi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">penerapan perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(6) Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">pelaksanaan prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">konseling kesehatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(7) Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">pada ayat (4) dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal </span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">9<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Perawat dalam melakukan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 10</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">tidak <b>ada dokter </b>di tempat kejadian, perawat <b>dapat melalaikan </b>pelayanan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="width: 100%;"><tbody>
<tr> <td style="-moz-background-clip: border; -moz-background-inline-policy: continuous; -moz-background-origin: padding; background: rgb(238, 238, 238) none repeat scroll 0% 0%; padding: 0.75pt;"><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.do" name="5"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt;">Page 5</span></b></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">MENTERI KESEHATAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">REPUBLIK INDONESIA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Bagi perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(3) Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">ayat (2) harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">kemungkinan untuk dirujuk.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(4) Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kesehatan Kabupaten/Kota.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(5) Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terdapat dokter,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">kewenangan perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasat 11<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Dalam melaksanakan praktik, perawat mempunyai hak:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik keperawatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">sesuai standar;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan/atau keluarganya;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">c. melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">d. menerima imbalan jasa profesi; dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">e. memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dengan tugasnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 12<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Dalam melaksanakan praktik, perawat wajib untuk:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">a. menghormati hak pasien;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">b. melakukan rujukan;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">c. menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">d. memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien/klien dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">pelayanan yang dibutuhkan;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">e. meminta persetujuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">f. melakukan pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis; dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">g. mematuhi standar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Perawat dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">tugasnya, yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau organisasi profesi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(3) Perawat dalam menjalankan praktik wajib membantu program Pemerintah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">5<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="width: 100%;"><tbody>
<tr> <td style="-moz-background-clip: border; -moz-background-inline-policy: continuous; -moz-background-origin: padding; background: rgb(238, 238, 238) none repeat scroll 0% 0%; padding: 0.75pt;"><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.do" name="6"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt;">Page 6</span></b></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">MENTERI KESEHATAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">REPUBLIK INDONESIA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">BAB IV</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">PEMBINAAN DAN PENGAWASAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 13</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dengan mengikutsertakan organisasi profesi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">bagi kesehatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 14<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">13, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan tindakan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">administratif kepada perawat yang melakukan pelanggaran terhadap<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">melalui:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">a. teguran lisan;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">b. teguran tertulis; atau<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">c. pencabutan SIPP.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">BAB V</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">KETENTUAN PERALIHAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 15</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) SIPP yang dimiliki perawat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nomor 1239/Menkes/SK/IV/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">masih tetap berlaku sampai masa SIPP berakhir.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">(2) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, SIPP yang sedang dalam proses<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">perizinan dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nomor 1239/Menkes/SK/IV/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">BAB VI</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">KETENTUAN PENUTUP</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 16</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="width: 100%;"><tbody>
<tr> <td style="-moz-background-clip: border; -moz-background-inline-policy: continuous; -moz-background-origin: padding; background: rgb(238, 238, 238) none repeat scroll 0% 0%; padding: 0.75pt;"><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.do" name="7"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt;">Page 7</span></b></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.5pt;">•. ></span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.5pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">MENTERI KESEHATAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;">REPUBLIK INDONESIA</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pasal 17</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">_ Ditetapkan di Jakarta<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">^H^da tanggal 27 Januari 2010<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Menteri,</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">V <i>^^d.^&Áha^u </i>Sedyaningsih, MPH, DR.PH</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="width: 100%;"><tbody>
<tr> <td style="-moz-background-clip: border; -moz-background-inline-policy: continuous; -moz-background-origin: padding; background: rgb(238, 238, 238) none repeat scroll 0% 0%; padding: 0.75pt;"><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.do" name="8"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt;">Page 8</span></b></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Formulir I<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Perihal : Permohonan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kepada Yth,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Dengan hormat,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Yang bertanda tangan d<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Nama Lengkap<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Alamat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Tempat, tanggal lahir<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Jenis kelamin<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Tahun Lulusan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">bawah ini,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Izin Praktik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Perawat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Sebagai bahan pertimbangan terlampir:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">a. fotokopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">b. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">c. surat pernyataan memiliki tempat praktik;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4 X 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; dan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">e. rekomendasi dari organisasi profesi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Demikian atas perhatian Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pemohon,<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> </span><br />
<hr align="center" size="2" width="100%" /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div>I Wayan Suardanahttp://www.blogger.com/profile/13540175845962475263noreply@blogger.com0